TEMPO.CO, Jakarta - Warga perumahan Zeni di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, berziarah ke makam para orang tua mereka di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Minggu, 1 November 2015. Kegiatan ini dilakukan guna menolak rencana Kodam Jaya yang ingin mengusir penghuni dari perumahan Zeni, Mampang Prapatan.
Budhy Lestari, salah satu warga perumahan, aksi di taman makam pahlawan ini untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa orang tua mereka telah berjasa kepada negara. "Orang tua kami adalah pejuang 1945," kata Budhy.
Untuk itu, Budhy meminta kepada pemerintah agar bisa menghargai jasa para pejuang tersebut. Apalagi ayahnya pernah berpesan agar rumah di perumahan Zeni yang mereka tempati saat ini harus dipertahankan. "Mereka mendapatkan rumah tersebut dari hasil jerih payah mereka," kata Budhy.
Warga perumahan Zeni yang berziarah itu datang mengenakan pakaian putih dengan pita merah melingkar di lengan. Saat memasuki areal TMP, mereka sempat berhenti sebentar di depan pintu masuk untuk memberikan hormat kepada para pahlawan yang dimakamkan di sana lalu memanjatkan doa bersama.
Setelah berada di area pemakaman, rombongan berpencar untuk mendatangi makam orang tua masing-masing. "Tak rela kami kalau rumah ayah diporak-porandakan," ujar Budhy.
Selanjutnya, rombongan beranjak ke depan taman makam lalu menggelar unjuk rasa. Mereka membentangkan spanduk yang isinya meminta Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan masalah ini, karena Presiden pernah menjanjikan akan menyelesaikan masalah ini saat menjadi Gubernur DKI.
Sebelumnya, Kodam Jaya mengklaim tanah dan bangunan di perumahan Zeni, Mampang Prapatan, merupakan aset milik TNI Angkatan Darat. Karena itu institusi TNI itu meminta keluarga yang menempati 71 rumah untuk keluar dari tempat itu. Jika permintaan itu tidak dipenuhi, TNI akan mengusir secara paksa.
Sementara itu, penghuni perumahan menyatakan asal-usul tanah dan bangunan yang mereka tempati bukan berasal dari anggaran TNI AD. Orang tua mereka yang dulu bertugas di Batalion Yon Zikon 1 (sekarang Yon Zikon 11) mengumpulkan uang saku untuk membeli tanah di sana pada 1959-1962 secara kolektif.
DIKO OKTARA