TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Fajar sudah terbiasa dengan suara berisik di dalam bus Transjakarta koridor enam jurusan Dukuh Atas-Ragunan yang ia tumpangi setiap hari.
Seperti yang terjadi Selasa siang, 10 November 2015. Suara gaduh mengiringinya sampai ke halte tujuannya di Kementerian Pertanian. Suara itu berasal dari engsel pintu yang longgar sehingga menimbulkan decitan ketika bus berjalan. Beberapa bagian bus juga berbunyi ‘ngak ngik ngok’ karena rusak. “Bunyi sana sini,” kata pegawai swasta itu, Selasa kemarin.
Selain gaduh, kondisi bus yang ditumpangi pria berusia 22 tahun ini juga banyak yang rusak. Lantai dan langit-langit bus banyak yang mengelupas, tiang pembatas untuk area wanita copot, tali pegangan banyak yang hilang, serta karatan di mana-mana. “Ada yang lebih parah dari bus ini,” ujarnya.
BACA JUGA:
Hijaber Cantik UNJ Tewas, Ini Alasan Delea ke Bandung
Gadis Payung nan Cantik Itu Jadi Kekasih Rossi, Ini Kisahnya
Beberapa operator Transjakarta juga mengakui bus-bus yang mereka operasikan sudah rusak. “Busnya sudah tua dan memang sudah tak layak,” kata Direktur PT Jakarta Mega Trans, Maringan Aruan. Jakarta Mega Trans merupakan operator bus Transjakarta di koridor empat, lima, dan tujuh.
Karenanya, ia mendukung rencana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang mau membeli seribu bus baru menggantikan bus-bus lama yang sudah rusak. Rencana itu bakal direalisasikan Basuki akhir tahun ini dengan membeli sekitar 370 unit bus. “Kami dapat kuota beli 128 unit,” ujar Maringan.
Ia mendapat perintah membeli mobil sebanyak itu dari PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) sekitar dua bulan lalu. Namun, hingga sekarang Jakarta Mega belum bisa membeli karena Transjakarta belum menginformasikan mengenai spesifikasi kendaraannya. “Misalnya, busnya pakai solar atau gas,” ucap dia.
Prasetyo Budi, Juru Bicara Transjakarta mengatakan belum bisa menjawab soal keluhan Jakarta Mega ihwal belum keluarnya spesifikasi kendaraan. “Saya coba cek dulu,” ucap dia.
Sudah lebih satu dekade—sejak resmi beroperasi Januari 2004—persoalan Transjakarta masih serupa, yakni bus rusak, jumlah bus kurang, lama waktu tunggu, jalur tak steril, dan lainnya. "Ini persoalan laten," kata Direktur Institute for Transportation and Development Policy, Yoga Adiwinarno.
Ihwal armada yang minim, misalnya. Menurut dia, jumlah armada Transjakarta berbeda jauh apabila dibandingkan dengan kota lain yang menggunakan angkutan yang sama seperti di Bogota, Kolombia. Di sana jumlahnya sekitar 2.000 bus. Sementara itu, Transjakarta saat ini hanya memiliki bus sebanyak 619 unit, dan yang beroperasi cuma 468 unit.
Karenanya, ia meminta kepada pemerintah Jakarta untuk terus menambah jumlah armada dan tak puas dengan angka 370 unit. Ia mengatakan seharusnya jumlah bus Transjakarta yang beroperasi di 12 koridor sebanyak 1.500 unit. Dengan begitu, target satu juta penumpang per hari bisa tercapai.
Menurut Yoga, apabila jumlah bus bertambah, lama waktu tunggu bisa dipersingkat. Contohnya di kota Guangzhou, Cina. Di sana setiap 10 detik bus datang atau sekitar 350 bus per jam dalam satu arah. “Jangan sampe puluhan menit kita nunggu bus,” ucap Yoga.
Efek domino semakin banyaknya bus yakni lalu lintas di jalur Transjakarta meningkat. Karena itu, Yoga meminta agar pemerintah menambah lajur searah Transjakarta dari satu menjadi dua, seperti di Bogota. “Satu lajur buat menyusul,” ucap dia. Ia paham betul jika ide tersebut bakal mendapat protes keras dari masyarakat yang menggunakan mobil pribadi.
Meskipun begitu, menurut dia, jika pemerintah mengutamakan angkutan umum, penambahan lajur tak masalah. Selain itu, Transjakarta terbukti mampu mengangkut penumpang lebih banyak dibanding kendaraan pribadi, sekitar 350 ribu orang per hari. “Kendaraan pribadi ngangkut berapa orang?”
Persoalan Transjakarta lainnya, kata Yoga, yakni jalur yang tak steril. Pada jam-jam sibuk, seperti masuk dan pulang kerja, kendaraan pribadi keluar masuk jalur Transjakarta.
Bahkan ia menemukan polisi yang seharusnya melarang malah membiarkannya. Karena itu, ia meminta agar polisi serius menindak kendaraan pribadi yang masuk jalur Transjakarta.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Darmaningtyas mengatakan, persoalan utama Transjakarta adalah manajemen yang buruk. Menurut dia, lama waktu tunggu bisa diselesaikan tanpa harus menunggu armada bertambah.
Jika manajemennya cerdas, kata dia, cukup menempatkan satu bus di setiap halte yang jumlahnya sebanyak 247 halte pada jam-jam sibuk. “Semua penumpang bisa terangkut pada waktu bersamaan,” ucapnya. Karenanya, ia meminta agar pemerintah merombak jajaran direksi Transjakarta.
Juru Bicara Transjakarta Prasetyo Budi akan mengkaji dahulu ide Dharmaningtyas ini. Namun, untuk usulan Yoga soal penambahan lajur, menurut dia, tak logis. Karena jalan-jalan di Ibu Kota relatif sempit. “Kalau setiap halte ada jalur menyusul masih mungkin,” katanya.
Muhammad Fajar pun sepakat dengan Transjakarta ihwal penolakan penambahan lajur. “Jalanan akan semakin macet,” ujarnya.
ERWAN HERMAWAM