TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Muhammad Tohir mengatakan tidak akan pergi dari Teluk Jakarta meski proyek reklamasi terus berjalan. Kecuali, ada solusi yang tepat dari pemerintah.
Tohir menyatakan yang diinginkan oleh nelayan adalah tempat tinggal di pinggir laut. "Kami minta solusi yang pas dengan kehidupan nelayan, yaitu tetap hidup di pinggir laut," katanya usai sidang di PTUN, Jakarta Timur pada Kamis, 12 November 2015.
Ia mengatakan sebelumnya pemerintah telah menawarkan tempat pindah bagi nelayan. Namun lokasinya tidak sesuai. "Kawan nelayan Waduk Pluit dipindahkan ke Rusun Marunda yang jauh dari tempat mencari nafkah," katanya. Ia mengatakan tidak ingin seperti itu.
Lagipula, jika kompensasinya berupa unit rusun, Tohir mengatakan hal itu sangat tidak manusiawi. "Kaya burung aja, dikotak-kotakin, dikandangin di Rusun," katanya. Menurut dia, nelayan tak biasa hidup terkurung. "Nelayan biasa hidup bebas."
Tohir mengatakan proyek reklamasi ini juga menghilangkan tempat kerja mereka. Ia mengatakan nelayan tak bisa lagi mengambil ikan dalam jarak sekitar dua mil dari bibir pantai. "Enggak ada ikan karena air laut keruh akibat pengerukan pasir dan lumpurnya naik," katanya.
Oleh sebab itu nelayan harus berlayar lebih jauh untuk menangkap ikan. "Ikan enggak seberapa, biaya operasionalnya bertambah," kata Tohir. Akhirnya, kini banyak nelayan yang banting stir. Ada yang menjadi penjual ikan hingga pemulung.
Para nelayan menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, untuk membatalkan reklamasi. Mereka juga mempermasalahkan landasan hukum pemberian izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudera. Mereka mendaftarkan gugatannya ke PTUN, Jakarta Timur. Hari ini, digelar sidang replik atas jawaban Gubernur di PTUN. Majelis hakim memutuskan menerima PT Muara Wisesa Samudera sebagai pihak tergugat intervensi setelah minggu lalu diajukan.
VINDRY FLORENTIN