TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kehutanan dan Konversi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan normalisasi sungai adalah menyalahi kodrat. Namun, hal ini terpaksa dilakukan karena pengaturan tata ruang tidak berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS).
Ia berujar banyak tata ruang yang membolehkan membangun di atas wilayah resapan air di pinggir-pinggir sungai. Hal ini menyebabkan banyaknya sedimen yang terbawa ke sungai sehingga membuat sungai menyempit. “Setelah itu bingung, lalu dilakukan normalisasi,” kata dia di acara diskusi Memajukan Hak Rakyat atas Air untuk Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan FAA PPMI dan Oxfam di Plaza Festival, Jakarta, Ahad, 22 November 2015.
Basah juga mengatakan kepala daerah yang sembrono dalam membuat tata ruang mengakibatkan pembangunan DAS tidak optimal. Banyak tata ruang yang sembarangan sehingga membuat kontur aliran sungai berubah. Sungai punya penangkal sendiri dengan membentuk badan sungai yang berkelok-kelok. “Kalau jadi lurus, akibatnya cepat banjir,” ujar dia.
Untuk mengeruk sedimen pada sungai, kata Basah, pemerintah butuh mengeluarkan biaya hingga triliunan. “Kita sudah habis sekian triliun dan sekarang sedimennya kembali lagi,” ujar dia.
Saat ini Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tengah melakukan proyek normalisasi Kali Ciliwung yang berada di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, memang belum selesai sehingga masih terjadi banjir.
Menurut Ahok, apabila pembangunan sheet pile belum selesai, potensi terjadinya rembesan air sungai ke permukiman warga pasti akan terjadi. Karena itu, Ahok meminta warga Kampung Pulo ikhlas dengan adanya relokasi yang harus dilakukan akibat proyek normalisasi Kali Ciliwung.
MAYA AYU PUSPITASARI