TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Jakarta dan Kepolisian Daerah Metro menganggap Uber melanggar banyak aturan. Dari Undang-Undang Transportasi hingga Undang-Undang Angkutan Umum. Dari urusan badan hukum sampai tak bayar pajak. Karena itu, sejak tahun lalu polisi dan Dinas Perhubungan merazia mereka.
"Kasihan undang-undang diinjak-injak terus," kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah seperti termuat di Koran Tempo edisi hari ini, 24 November 2015.
"Kami memang melanggar sejumlah aturan, tapi kami sudah tergantung pada pekerjaan ini," kata Haryanto, Ketua Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama—yang bermitra dengan Uber.
Cara kerja Uber:
Uber adalah aplikasi kendaraan sewa yang dibuat Uber Technologies Inc. di California, Amerika Serikat, pada 2009. Aplikasi ini menghubungkan pengendara—siapa pun yang ingin menyewakan jasa dan kendaraannya—dengan penumpang. Uber sudah ada di 54 negara. Karena berupa aplikasi, Uber tunduk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tapi di sinilah letak persoalannya: Uber taksi dianggap melanggar banyak aturan lain.
Pajak
Uber tak membayar pajak karena transaksi antara pengguna dan sopir melalui kartu kredit. Porsinya 80 persen untuk pengemudi, 20 persen untuk Uber. Sejauh ini 100 persen untuk pengemudi karena Uber baru mengincar pelanggan.
Undang-Undang Transportasi dan Angkutan Jalan
1. Tak punya izin sebagai angkutan umum karena pelat nomor Uber hitam. Semua kendaraan Uber adalah kendaraan pribadi atau perusahaan persewaan.
2. Taksi di Indonesia hanya diberikan kepada perusahaan lokal.
Tak Berbadan Hukum
Pengemudi Uber hanya bernaung di koperasi karena Uber bukan perusahaan transportasi, melainkan perusahaan aplikasi. Dengan demikian, Uber tak punya perwakilan usaha di tiap negara.
Undang-Undang Persaingan Usaha
Uber dianggap merusak harga pasar taksi konvensional karena tarifnya tak ditentukan oleh pemerintah, sehingga tarifnya lebih murah dibanding tarif taksi konvensional.
NINIS CHAIRUNNISA