TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hidrologi dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan Jakarta mengalami krisis ketahanan air. Alasannya, tak ada satu pun dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Ibu Kota, yang layak diminum. "Pemerintah lambat menentukan solusi kekurangan air," katanya dalam diskusi di kawasan Puncak, Jawa Barat, Kamis, 21 Januari 2016.
Di Jakarta, Firdaus menjelaskan, air permukaan hanya 3 persen dari total yang ditampung perairan. Dari tiga persen itu, hanya 2 persen air sungai. Dengan kata lain, Jakarta tak mempunyai sumber air permukaan yang layak diubah menjadi air baku. Sebagai contoh, PT PAM Lyonnaise Jaya sebagai pemasok air bersih di bagian barat dan utara Jakarta memperoleh sumber air baku justru dari luar Jakarta.
Sebanyak 62,5 persen air yang diolah berasal dari Waduk Jatiluhur dan 31,8 persen berasal dari Water Treatment Plant Serpong dan Cikokol, Tangerang. Hanya 5,7 persen yang diambil dari Kali Krukut di Jakarta Selatan dan Cengkareng Drain di Jakarta Barat. “Itu pun kualitasnya tak baik,” katanya.
Menurut Firdaus, pemerintah harus menyiapkan fasilitas dan sumber daya pengelolaan air yang canggih. Indonesia tertinggal dari negara tetangga, seperti Singapura, yang bahkan sudah mengolah air laut menjadi air minum. Ketiadaan fasilitas ini membuat Jakarta kekeringan saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim penghujan.
Minimnya sumber air baku, menurut Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Jaya Erlan Hidayat, juga bertambah parah saat perizinan untuk mengelola air sungai rumit. Setidaknya, ada 15 lembaga dan badan yang harus dilewati sebelum mengolah air baku. "Sedangkan jumlah airnya tak pernah bertambah."
Erlan menambahkan, kebutuhan air di Jakarta dalam sehari mencapai 26.100 liter per detik. Sedangkan jumlah yang dapat dipasok dua operator air minum 17.000 liter per detik. Artinya, masih ada kekurangan 9.100 liter air per detik.
LINDA HAIRANI