TEMPO.CO, Jakarta - Eksploitasi air tanah di Ibu Kota kian mengkhawatirkan. Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Junaedi mengatakan, akibat pengisapan air tanah secara terus-menerus, penurunan muka tanah di wilayah utara Jakarta mencapai 9 sentimeter setiap tahun. "Jadi, stop pakai air tanah," katanya kepada Tempo, Rabu kemarin.
Kondisi tersebut diperkirakan semakin parah karena data Badan Lingkungan Hidup menunjukkan bertambahnya titik pengeboran sumur dalam lima tahun terakhir. Pada 2011, tercatat 7,2 juta meter kubik air didulang di 4.231 titik sumur. Angka ini meningkat menjadi 8,9 juta meter kubik air dari 4.473 titik sumur pada 2014.
Baca juga: Yusril: Kapasitas Wali Kota Kok Jadi Presiden
Menurut Junaedi, air yang mengalir di sungai-sungai Ibu Kota dapat diubah menjadi air baku menggunakan teknologi instalasi pengolahan air limbah. Ditambah lagi, ada jaringan pipa agar air bersih dapat mengalir ke permukiman penduduk, kawasan bisnis, hingga industri, sehingga masyarakat tak lagi menggunakan air tanah.
Mengutip data Perusahaan Daerah Air Minum Jaya, jaringan pipa air bersih menjangkau 60 persen dari 12,5 juta warga Jakarta. Artinya, ada 5 juta orang yang belum mendapatkan pasokan air bersih sehingga masih memakai air tanah atau sumber lainnya sebagai pasokan utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Ahok Berkeras Larang Delman Beroperasi di Monas, Kenapa?
Deputi Direktur Bidang Teknis dan Pelayanan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Bance Simarmata mengatakan potensi air sungai yang bisa dimanfaatkan misalnya dari Kanal Banjir Barat. Namun, ia menjelaskan, air di sana tercemar limbah rumah tangga dan tak cocok dijadikan air baku karena kandungan amonianya tinggi. Karena itu, perlu penanganan lebih lanjut dengan membangun instalasi pengolahan air di sana. "Kami perlu dukungan perizinan dan investasi," ujar Bance.
Adapun Dinas Tata Air DKI berencana merehabilitasi dan menambah waduk sebagai tempat penampungan air agar dapat dimanfaatkan sebelum mengalir ke laut. "Sehingga masyarakat tak perlu menggunakan air tanah," tutur Kepala Bidang Air Tanah dan Air Bersih Dinas Tata Air Dedi Kunfriadi.
Pengamat tata air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan penurunan permukaan tanah Jakarta mencapai 10-11 sentimeter setiap tahun. Jika dikalkulasikan dengan ketinggian tanah di kawasan Monumen Nasional—yang berada 4,9 meter di atas permukaan laut pada 2008, pada 2050, Monas bisa sejajar dengan bibir pantai saat ini apabila eksploitasi air tanah terus berlanjut.
NINIS
Petaka Defisit Air di Jakarta
Kepala Bidang Air Tanah dan Air Bersih Dinas Tata Air DKI Dedi Kusfriadi mengatakan sebagian besar air baku yang dipasok dua perusahaan air minum, Palyja dan Aetra, sangat bergantung pada pasokan dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Adapun sisanya mengandalkan air dari Kali Cisadane dan Kali Krukut serta pengolahan air di dalam kota. Berikut ini data kebutuhan air dan ketersediaannya.
Potensi:
Ketersediaan air baku 18 ribu liter per detik, sedangkan angka kebutuhannya 26 ribu liter per detik.
Pasokan:
Waduk Jatiluhur: 81 persen
Kali Cisadane: 15 persen
Kali Krukut: 4 persen
Sambungan Air
Populasi: 12,5 juta penduduk Jakarta
Air baku: 7,5 juta jiwa (60 persen)
Air tanah dan sumber lain: 5 juta jiwa (40 persen)
Instalasi Pengolahan Air
Sistem Pengolahan Air Minum Jatiluhur berkapasitas 5.000 liter per detik (mulai 2017)
Moving Bed Bio-Film Reaktor (MBBR) berkapasitas 550 liter per detik (cadangan)
Instalasi Pengolahan Air Pesanggrahan berkapasitas 600 liter per detik (2018)
Instalasi Pengolahan Air Hutan Kota berkapasitas 300 liter per detik (2017)
Instalasi Pengolahan Air Pejaten berkapasitas 200 liter per detik (2017)
NINIS