TEMPO.CO, Jakarta - Museum Bahari masih berdiri kokoh di antara puing-puing bekas gusuran Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Museum dengan koleksi barang-barang yang terkait dengan sejarah kemaritiman negeri ini tampak kesepian di antara puing itu.
Hanya segelintir orang saja yang tampak berkunjung ke sana. Padahal itu hari Sabtu. Zainal Abidin, 44 tahun, yang menjadi petugas pemandu museum pun gundah.
"Justru banyak bule, umumnya dari Belanda karena ini peninggalan dia. Ini dulu bekas gudang rempah," kata Zainal yang berseragam biru dongker saat ditemui di Museum Bahari, Sabtu, 28 Mei 2016.
Zainal cermat menerangkan setiap detail koleksi yang berdebu di museum itu. "Saya tidak dipaksa belajar, tapi karena sudah bagian dari pekerjaan saya, lama-lama saya paham," katanya.
Koleksi museum bahari adalah saksi bisu kejayaan nenek moyang kita di laut. Koleksi berupa miniatur dan perahu asli dipajang gagah di sana. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur, foto-foto, dan biota laut lainnya.
Hari makin siang, museum yang diresmikan sejak 7 Juli 1977 itu tak jua kebanjiran pengunjung. Hanya beberapa orang saja berkunjung. Jumlahnya bisa dicacah jari.
Entah menghibur diri sendiri atau tidak, Zainal berucap pengunjung akan lebih ramai saat sore hari. Untuk masuk museum ini, pengunjung hanya ditarik tiket seharga Rp 5.000. Tak ada petugas museum dari pegawai DKI yang tampak hari itu. Menurut seorang penjaga, para pegawai baru ada saat hari kerja.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah beralasan penggusuran Kampung Akuarium adalah untuk merevitalisasi wisata bahari di kawasan itu. "Tidak ada pengaruh apa-apa sama jumlah pengunjung museum setelah penggusuran. Biasa-biasa saja," kata Zainal.
Zainal menyayangkan minimnya wisatawan domestik yang datang ke museum itu. Ia menyimpulkan masyarakat Jakarta enggan belajar sejarahnya sendiri.
Padahal, kata Zainal, dengan berkunjung ke museum bisa menambah ilmu. Apalagi biayanya relatif murah. "Orang kita tidak mau nambah ilmu, padahal (harga tiket) cuma 5.000, tapi ilmunya banyak. Malah, makin banyak yang rusak karena yang datang suka enggak peduli. Orng kita tahunya merusak saja, tidak merawat," tuturnya.
Zainal pun berkisah tentang anak perempuannya yang kerap ikut menemaninya ke museum. "Setiap anak perempuan saya ke sini, dia hampir tidak mau pulang. Dia senang lihat-lihat di sini. Padahal usianya baru enam tahun," ucap dia. Mungkin kelak sang anak lah yang akan meneruskannya mengisahkan tentang cerita-cerita bahari Nusantara di Museum itu.
LARISSA HUDA