TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga korban vaksin palsu Rumah Sakit Harapan Bunda memprotes kinerja rumah sakit tersebut yang mereka anggap tak profesional. Mereka datang ke Komnas Perlindungan Anak dan membawa tujuh tuntutan atas peredaran vaksin palsu.
"Yang kami minta adalah pihak RS bertatap muka dengan kami, duduk bersama menyelesaikan masalah. Tapi mereka menghadapkan kami dengan polisi," kata Agust Siregar, Koordinator Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu di Komnas Perlindungan Anak, T.B. Simatupang, Senin, 25 Juli 2016.
Agust, Koordinator Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu, merasa RS Harapan Bunda memperlakukan orang tua korban dengan komunikasi yang tidak baik. Aliansi ini dijaga oleh polisi. Mereka merasa diperlakukan seolah sebagai perusuh, padahal tidak pernah anarkistis terhadap RS Harapan Bunda.
Agust menyatakan pernah bertemu dengan pihak rumah sakit, namun keinginan orang tua belum terealisasi. "Contohnya memberikan data pasien dari 2003-2016, ini detik, ini menit, belum juga terlihat. Itu artinya apa? Bentuk-bentuk arogansi yang diperlihatkan RS Harapan Bunda kepada para korban," kata Agust.
Berikut ini beberapa tuntutan dari orang tua itu, di antaranya Rumah Sakit Harapan Bunda menerbitkan daftar pasien yang diimunisasi di Rumah Sakit Harapan Bunda periode 2003-2016. Orang tua tersebut meminta rumah sakit menanggung biaya medical checkup di rumah sakit lain yang ditentukan orang tua korban. Semua akibat vaksin palsu menjadi tanggung jawab RS Harapan Bunda, berupa jaminan kesehatan full cover sampai waktu yang tak ditentukan.
Mengenai tuntutan para orang tua ini, pihak Rumah Sakit Harapan Bunda belum memberikan jawaban. Pesan pendek yang dikirimkan Tempo juga belum direspons.
AUZI AMAZIA | REZKI | PRU