TEMPO.CO, Jakarta - Ibu Kota terancam jadi kubangan limbah berukuran raksasa. Peringatan ini datang dari Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah Jakarta Raya, Subekti. Ia mencemaskan tak sinkronnya pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta dengan pengolahan limbah.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane sudah menancapkan 250 meter tiang pancang di Kali Baru dan Muara Baru sebagai awal pembangunan tanggul 62 kilometer. Dinas Tata Air DKI Jakarta juga telah mengerjakan sekitar 320 meter tanggul di Pasar Ikan. Proyek ini merupakan tahap A dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
BACA: Bappenas Kaji Tanggul Laut Hingga Oktober
Menurut Subekti, pembangunan tanggul laut itu belum memperhitungkan pengelolaan air limbah. PD PAL baru bisa mengolah tujuh persen pelanggan atau 2.578 pelanggan di Ibu Kota. Sisa limbah orang Jakarta masih bermuara ke laut. "Kalau tidak akselerasi, Jakarta bisa jadi kubangan besar," kata dia seperti dikutip Koran Tempo edisi 7 Oktober 2016.
Proyek NCICD dirancang Belanda dengan memperkirakan pengelolaan air limbah Jakarta sudah sempurna. Nyatanya, Jakarta baru memiliki satu IPAL yaitu di Setiabudi dengan kapasitas pengolahan 1.800 meter kubik air limbah per hari. "Ratusan ribu meter kubik air limbah masih dibuang ke saluran kota dan berakhir di teluk," ujar Subekti.
Dari jumlah itu, kurang dari 40 persen yang memenuhi air baku mutu. Sisanya adalah air limbah yang belum diolah dengan pencemaran BOD (biochemical oxygen demand) sebesar 84 miligram per liter. Jakarta masih berada di posisi kedua terendah dalam sanitasi di antara ibu kota di Asia Tenggara.
BACA: Ahok Resmikan Tanggul Laut pada Mei
PD PAL Jaya sedang mengebut pembangunan delapan IPAL baru agar selesai mendahului NCICD. Dua IPAL di Pluit dan Duri Kosambi jadi prioritas karena kawasan itu polutannya paling tinggi. Nilai proyek Rp 14,75 triliun akan dibantu pendanaannya oleh Jepang lewat Japan International Cooperation Agency.
IPAL Pluit sudah memasuki tahap detail engineering design di lahan seluas empat hektare dekat waduk Pluit. Pada 2018 baru mulai kontruksi untuk kejar target selesai 2028. Target ini jauh dari perintah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Februari lalu, Ahok menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 41 tahun 2016 tentang Rencana Induk Pengembangan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik yang mewajibkan pengolahan limbah beroperasi pada 2022. Sedangkan enam IPAL lain yang tersebar di berbagai titik di Jakarta harus mulai dibangun pada 2023.
Subekti mengatakan molornya target pembangunan IPAL karena investasinya tak main-main. Delapan IPAL prioritas senilai Rp 43 triliun didanai oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah DKI. "Yang kami khawatirkan adalah tanggul fase B dan C. Kalau tanggul fase A, air yang mengalir ke teluk masih bisa dipompa ke laut. Tapi kalau sudah mulai fase B dan C, teluk Jakarta tersegel total," katanya.
BACA: Penggusuran Pasar Ikan untuk Muluskan Proyek Tanggul Garuda
Fase B dan C adalah integrasi reklamasi 17 pulau dan pembangunan tanggul laut terluar membentuk burung garuda raksasa. Rencananya, pembangunan fase ini dimulai 2018 setelah pembangunan tanggul fase A selesai. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sedang mengkaji ulang master plan NCICD untuk tiga tahapan ini.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Teuku Iskandar mengatakan pembangunan tanggul fase A bisa paralel dengan pembangunan instalasi air limbah. Sementara Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati mengatakan pemerintah Jakarta juga mencari lain cara agar pengolahan limbah maksimal sebelum Teluk Jakarta tersegel.
Antara lain membuat IPAL komunal. Juga membuat septic tank standar yang bisa mengolah air limbah tinja dan air mandi. Septic tank seharga Rp 4 juta ini, kata Subekti, diharapkan bisa terpasang di 2 juta rumah.
INDRI MAULIDAR | GANGSAR PARIKESIT