TEMPO.CO, Jakarta - Willyudin Abdul Rasyid Dhani, saksi yang memberatkan dalam sidang perkara dugaan penistaan agama mengaku laporannya terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sempat ditolak oleh Kepolisian Resor Kota Bogor. Laporannya ditolak lantaran kejadian penistaan agama tersebut terjadi di Kepulauan Seribu.
"Saya diminta konsultasi ke Reskrim. Di situ wawancara, dan saya sampaikan kalau laporan tidak diterima, ada kemungkinan ribuan umat Islam ke sini," kata Willyudin dalam kesaksiannya pada sidang dengan terdakwa Ahok, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 17 Januari 2017.
Baca juga:Sidang Ahok, Hakim Pertanyakan Kejanggalan Laporan Saksi
Jaksa Tolak Eksepsi Ahok, Sidang Dilanjutkan Pekan Depan
Setelah pernyataannya itu, pengunjung sidang sempat bersorak, namun langsung ditegur hakim. Willyudin pun berdalih bahwa dirinya bukan bermaksud untuk menekan. "Ini amanah dari umat Islam," ujarnya.
Dia melanjutkan, yang terpenting dirinya bisa membuat laporan terlebih dulu karena tidak mengerti hukum. Kemudian, ia pun membuat laporan dan ditanya mengenai kejadian dugaan penistaan agama.
Ia menegaskan bahwa kejadian itu terjadi di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Adapun untuk waktu menonton video tersebut, ia menyaksikannya di rumahnya, Tegallega, Kota Bogor, pada Kamis, 6 Oktober 2016, pukul 11 siang.
Setelah laporan dicetak, Willyudin melihat waktu kejadian itu tidak sesuai dengan laporannya. Di kertas tertulis Kamis, 6 September 2016. Ia mengaku langsung mencoret dan meminta polisi untuk mengoreksi kembali bahwa kejadiannya adalah 6 Oktober 2017.
"Setelah saya coret, saya jelaskan mana mungkin kejadian baru kemarin malah 6 September. Tolong perbaiki," kata dia.
Petugas, dia berujar, kembali mencetak laporan yang baru. Terakhir, dia mengaku tidak melihat lagi waktu kejadian dalam laporan karena sudah yakin benar setelah melihat koreksiannya di layar komputer petugas. "Saya lihat di monitor sudah betul 6 Oktober," katanya.
Belakangan, laporan itu dipersoalkan kuasa hukum Ahok karena tempus delicti itu menyatakan 6 September 2016. Padahal peristiwa dugaan penistaan agama terjadi pada 27 September 2016.
Petugas yang mengetik adalah Briptu Ahmad Hamdani. Dia mengatakan hanya mengetik sesuai yang diutarakan oleh pelapor.
FRISKI RIANA