TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara belum merespons laporan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu ke Ombudsman atas tudingan mal-administrasi penerbitan serifikat tanah. "Saya siapkan dulu data terkait berita dimaksud, terima kasih," ujar Kepala Kantor BPN Jakarta Utara, Firdaus saat dihubungi Tempo pada Selasa, 7 Maret 2017.
Firdaus belum menjelaskan terkait tudingan warga Pulau Pari. Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Sahrul Hidayat mengatakan BPN Jakarta Utara pada 2015 mengeluarkan sertifikat hak milik atas kepemilikan Pulau Pari kepada PT Bumi Pari Asri atau biasa disebut PT Bumiraya Griyanusa. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Dalam Pasal 21, disebutkan, perusahaan tidak berhak memiliki sertifikat hak milik atas tanah.
Baca: Konflik Tanah, Warga Pulau Pari Ditawari Duit Rp 20 Juta
"Beberapa media juga sudah konfirmasi ke saya, nanti kami jadwalkan saja secara bersama dengan beberapa media sesegera mungkin," tutur dia. Firdaus enggan mengomentari tudingan mal-administrasi.
Sebelumnya, Sahrul Hidayat menganggap sertifikat yang diterbitkan BPN Jakarta Utara cacat hukum. Saat proses pengurusan sertifikat, warga Pulau Pari juga merasa tak dilibatkan dalam pengukuran dan pembuatan sertifikat. “Kami meminta Ombudsman mengeluarkan rekomendasi agar sertifikat yang terbit atas nama PT Bumi Pari Asti itu dibatalkan,” ucapnya.
Pengacara Publik LBH Rakyat Banten, Tigor Hutapea menambahkan sertifikat yang diterbitkan BPN Jakarta Utara itu digunakan oleh perusahaan untuk mengklaim 90 persen lahan atas Pulau Pari. Pengembang menganggap warga Pulau Pari menyerobot tanah perusahaan. Bahkan seorang warga setempat bernama Edi Priadi dikriminalisasi dan dituding menyerobot lahan milik perusahaan.
”Di peta BPN secara online sebagian besar telah disertifikasi milik perusahaan, sedangkan warga tidak ada satu pun yang memiliki sertifikat tanah,” ucap Tigor. Padahal warga telah menempati pulau sejak 1900-an atau sudah melewati lebih dari empat generasi. Warga setempat sempat memiliki girik pada 1960-an dan membayar pajak rutin setiap tahun.
Pada 1985, mendadak pemerintah menarik semua girik warga dengan dalih akan ada pemutihan menjadi sertifikat. Beberapa tahun kemudian, atau pada 1989, PT Bumi Pari Asri datang mengklaim tanah warga Pulau Pari. Pada 2015, muncul sertifikat lahan Pulau Pari atas nama perusahaan tersebut.
AVIT HIDAYAT