TEMPO.CO, Tangeranga - Sekitar 4.200 penduduk di Kecamatan Mauk saat ini menempati tanah negara dengan mendirikan bangunan yang tidak layak huni. "Kami sudah mendapatkan laporan dari kepala desa maupun camat penghuni bangunan itu di antaranya ada yang meminta diperbaiki," kata Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar di Tangerang, Kamis, 16 Maret 2017.
Ahmed mengatakan penduduk yang menempati tanah negara itu berada di Desa Margamulya. Mereka di sana sudah tinggal selama belasan tahun dengan mendirikan bangunan di pinggir irigasi dan saluran pembuang. Lahan itu milik Direktorat Pengairan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera). Kondisi kehidupan mereka sangat memprihatinkan karena kebanyakan mereka hanya bekerja serabutan atau sebagai buruh nelayan.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang tengah menjalankan program Gerakan Bersama Atasi Permukiman Kumuh dan Miskin (Gebrak Pakumis). Salah satu sasaran program ini adalah memperbaiki rumah penduduk yang tidak mampu. Namun program ini tidak bisa diterapkan di Desa Margamulya karena syaratnya adalah bangunan yang diperbaiki harus berada di lahan milik pribadi, bukan lahan negara.
Penduduk yang menempati lahan negara itu mayoritas dari pesisir atau daerah lain yang kemudian menetap di kawasan pantai Kabupaten Tangerang.
Suparman, 51 tahun, pemilik bangunan di lahan negara mengatakan cemas bila ada pembongkaran oleh Satpol PP setempat. "Karena kami tidak memiliki tanah untuk membangun, maka terpaksa mendirikan gubuk dekat saluran irigasi," kata warga asal Cirebon, Jawa Barat, yang memiliki tiga anak itu.
Suparman mengatakan dia sudah mendapatkan informasi dari RT dan RW serta kepala desa setempat untuk segera pindah. Namun hingga saat ini dia belum menemukan tempat tinggal baru. Penduduk penghuni lahan milik negara itu di antaranya adalah korban abrasi akibat diterjang ombak perairan Laut Jawa, yang menyebabkan tanah mereka hilang menjadi lautan.
ANTARA