TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis lingkungan hidup pro Ahok Emmy Hafild menuding isu reklamasi digiring demi kepentingan politik, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Dia menuduh lawan-lawan politik Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menggunakan isu reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta untuk mencemarkan nama Ahok sehingga tidak terpilih dalam Pilkada DKI putaran kedua, 19 April 2017.
"Sebagai seorang gubernur, Basuki Purnama tidak bisa menghentikan reklamasi," kata Emmy di Rumah Pemenangan Basuki-Djarot, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 17 Maret 2017.
Baca juga:
Aktivis Lingkungan Pro Ahok Sayangkan Pengadilan Menangkan Nelayan
DKI Belum Tentukan Banding Terkait Kekalahan Gugatan Reklamasi
Kalah Gugatan Reklamasi, Anies Nilai Akibat Kelalaian Pemprov DKI
Nur Hidayati Pimpin Walhi, Fokus Garap Isu Reklamasi
Saat ini, Emmy adalah juru bicara bidang lingkungan hidup pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Emmy adalah mantan Direktur Eksekutif Walhi untuk dua periode, yakni 1996-1999 dan 1999-2001.
Menurut Emmy, lawan politik pasangan Basuki-Djarot mengangkat isu bahwa proyek reklamasi 17 pulau itu dianggap hanya untuk mengakomodir kepentingan pengembang saja.
"Kami ingin meluruskan beberapa pemberitaan reklamasi yang mungkin terlupa karena isunya banyakan pilkada dari pada yang sebenarnya. Itu yang seharusnya kita pikirkan," ujar Emmy, yang tahun 1999 dinobatkan sebagai salah satu Hero of The Planet oleh majalah Time.
Emmy mengatakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama tidak bisa menghentikan proyek reklamasi. Karena, katanya, proyek itu telah diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta kemudian ditegaskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012.
"Ahok sebetulnya hanya bertindak sebagai eksekutor dari keppres tersebut," kata Emmy yang status Facebook-nya penuh dengan kampanye bagi pemenangan pasangan Ahok-Djarot dan melemahkan pasangan calon lainnya.
Reklamasi sendiri, kata Emmy, sudah berjalan sejak 1970-an. Salah satu contoh reklamasi yang telah dilakukan di Jakarta adalah pembangunan Taman Impian Jaya Ancol, Dunia Fantasi, Pantai Mutiara, dan Green Bay.
"Reklamasi Pantai Utara Jakarta itu rencana sejak lama, tapi setelah itu ganti presiden. Itu sebetulnya proyek nasional. Gubernur DKI hanya eksekutor. Sementara, rencana dari pemerintah pusat," ujar Emmy, lulusan master bidang ilmu lingkungan dari Universitas Wisconsin, Madison pada 1994.
Emmy membantah kabar yang dihembuskan aktivis sosial dan lingkungan bahwa proyek reklamasi menyingkirkan nelayan. Padahal, katanya, reklamasi itu memberdayakan dan menata pembangunan di pantai utara.
"Kalau jadi reklamasi, rakyat Jakarta itu untung. Nelayan tidak disingkirkan tapi diberdayakan dan ditata dan sanitasi dibangun. Muara Angke yang jadi pusat perikanan besar, akan jadi yang terbesar dan modern," ujarnya berpromosi.
Simak juga:
Ahli Oceanografi: Reklamasi Ancam Ekosistem Laut
Ahli IPB: Keputusan Reklamasi Jakarta Jangan Diambil Parsial
Konsultasi Publik Reklamasi Jakarta Dituduh Diskriminatif
Pakar ITB: Reklamasi Teluk Jakarta Akan Perparah Banjir
Pendapat Emmy itu dibantah aktivis aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mendampingi nelayan di Muara Angke menggugat Gubernur Basuki ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam soal reklamasi.
Kepala Divisi Penanganan Kasus LBH Jakarta, Muhamad Isnur, menjelaskan Gubernur Basuki Purnama salah menggunakan peraturan dalam menerbitkan izin reklamasi di Teluk Jakarta.
Menurut Isnur, Ahok harusnya berpatokan pada peraturan baru, bukan peraturan yang lama. Peraturan baru tersebut adalah Perpres 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi, sedangkan peraturan lama yang digunakan Ahok dalam mengeluarkan izin yakni Keppres Nomor 52 Tahun 1995 yang dikeluarkan Presiden Soeharto.
"Kalau begini, dia sudah melanggar hukum dengan mengeluarkan izin reklamasi. Itu berdasarkan keterangan ahli dalam sidang di PTUN," kata Isnur kepada wartawan.
Dalam aturan Perpres 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi, kewenangan izin reklamasi dan lokasi terhadap daerah yang masuk dalam kawasan strategis nasional dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"DKI masuk dalam kawasan strategis nasional. Izin reklamasi yang dikeluarkan Ahok kan Desember 2014. Harusnya ini bukan kewenangan dia lagi, tapi sudah di KKP," ujar Isnur.
Lihat juga:
Tema Berubah, Walhi Tolak Jadi Pemateri Diskusi Reklamasi
Amdal Pembangunan Tanggul Raksasa Dinilai Cacat Hukum
Walhi: Moratorium Reklamasi Sebatas Retorika Politik
Pada Kamis 16 Maret 2017, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan seluruh gugatan warga nelayan Muara Angke terkait pembangunan reklamasi Pulau K, I dan F.
Majelis hakim menyatakan tergugat wajib mencabut SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Surat keputusan itu ditandatangani Gubernur Basuki Purnama yang menjadi tergugat. Selain Basuki atau Ahok, nelayan Muara Angke juga menggugat PT Pembangunan Jaya Ancol, badan usaha daerah miliik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Putusan PTUN tersebut sekaligus membatalkan SK Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terhadap pemberian izin reklamasi bagi tiga perusahaan yang dua diantaranya dimiliki badan usaha milik daerah DKI yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan PT Pembangunan Jaya Ancol.
LARISSA
Catatan Redaksi:
Ada perubahan judul pada 21 Maret 2017, sesuai dengan surat penjelasan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)