TEMPO.CO, Bandung - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Bandung hari ini. Kasusnya terkait pemecatan mahasiswa dari tiga kampus oleh pihak yayasan, diduga terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi pada Februari lalu. Mahasiswa menolak jadi tim sukses pasangan calon nomor wahid, Meilina Kartika Kadir-Abdul Kholik.
Pengacara publik dari LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy mengatakan, kasus berawal dari upaya pemaksaan oknum Dewan Pembina Yayasan Eka Widia Nusantara dan Tri Praja Karya Utama, Suroyo.
Baca: Akademisi Nilai Debat Pilkada Kabupaten Bekasi Garing
Ia meminta mahasiswa dari tiga kampus yang dinaungi kedua yayasan tersebut, yaitu STIE Tribuana, STT Mitra Karya, dan STMIK Mitra Karya, untuk menyebarkan kalender berbentuk poster. Gambarnya sosok pasangan calon nomor satu dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi, Meilina Kartika Kadir-Abdul Kholik.
“Mahasiswa dipaksa tanda tangan untuk menjadi relawan,” kata Alldo, Rabu, 22 Maret 2017, seusai memasukkan berkas gugatan ke PTUN Bandung. Sejumlah mahasiswa, kata Alldo, sempat mengajukan protes ke kampus. Mereka menolak menjadi kader dan tim sukses.
Pada Desember 2016, pihak yayasan mengancam akan mencabut kartu ujian akhir semester dan beasiswa mereka. Ancaman itu ditanggapi dengan aksi unjuk rasa mahasiswa pada 10 Desember 2016. “Kemudian 16 Januari 2017, sebanyak 28 orang mahasiswa diberhentikan tanpa alasan yang jelas,” ujar Alldo.
Mereka berasal dari ketiga kampus tersebut yang berada di satu lokasi di Kota Bekasi. Mahasiswa yang dipecat, sempat melaporkan kejadian tersebut ke Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Bekasi. Namun, laporannya ditolak karena telah melewati 14 hari pasca pembagian kalender poster pasangan calon.
Mahasiswa, kata Alldo, juga menyampaikan persoalan tersebut ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun pihak kampus dan yayasan tidak menanggapi. “Kami menggugat Surat Keputusan drop out,” kata Alldo.
Dari 28 mahasiswa, kata Alldo, 15 diantaranya menggugat bersama LBH Jakarta. Mahasiswa lainnya yang dipecat, ada yang dilarang menggugat oleh orang tuanya maupun pindah kampus.
Menurut Alldo, tindakan kampus dan yayasan tersebut dinilai diskriminatif, melanggar aturan pendidikan tinggi, serta melanggar Undang-undang Keterbukaan Informasi karena memampangkan nama ke-28 mahasiswa yang dipecat secara terbuka di papan informasi.
Salah seorang mahasiswa yang diberhentikan, Ahmad Makmur, mengatakan, sebelum pelaksanaan Pilkada Kabupaten Bekasi 2017, ia diminta membagikan kalender poster pasangan calon nomor 1. “Yang memberikan langsung Pembinan Yayasan, Suroyo,” kata mahasiswa semester 1 STIE Tribuana tersebut.
Kalender poster saat itu diterimanya, namun tidak dibagikan sesuai pesanan. Setiap mahasiswa, kata Makmur, diberikan 10 lembar kalender. Barang itu untuk dibagikan ke warga Kabupaten Bekasi. Makmur beralasan, ia menolak karena tindakan itu bertentangan dengan UU Pemilu, maupun aturan Dirjen Dikti. “Harusnya kan kampus steril dari politik praktis,” kata Makmur.
Selain itu, ujar makmur, pembagian kalender tersebut dijadikan sebagai syarat bagi mahasiswa untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Penolakan itu disampaikan bersama 28 orang mahasiswa secara lisan ke Pembina Yayasan. Hingga tiga kali pertemuan mediasi, kata Makmur, tidak tercapai titik temu.
Pada 9 Januari 2017, mahasiswa yang menolak itu berunjuk rasa dan memprotes politisasi dalam kampus. Sebelumnya pada 6 Januari, mereka menggalang dukungan mahasiswa lain lewat petisi. Tuntutannya, stop politisasi kampus dan intimidasi mahasiswa. “Aksi dibubarkan paksa oleh pihak kampus dan yayasan,” ujar Makmur.
Selanjutnya mereka melakukan aksi di Kemenristekdikti pada 16 Januari 2017. Saat diterima untuk beraudiensi, mahasiswa menyampaikan persoalan di dalam internal kampus mereka terkait Pilkada Kabupaten Bekasi. “Kami meminta surat drop out ini dicabut,” kata Makmur. Sebanyak 24 orang mahasiswa dilarang mengikuti UAS karena kartu ujiannya tidak diberikan.
Sebelum kasus kalender itu, kata Makmur, pihak kampus juga mensyaratkan agar mahasiswa melakukan pengabdian masyarakat. Caranya dengan menyebarkan kuisioner kepada warga Kabupaten Bekasi. Pertanyaannya, kata Makmur, siapa pasangan calon yang akan Anda pilih dalam Pilkada Kabupaten Bekasi.
Baca juga: Pilkada 2017, Bawaslu Benarkan Ada Laporan Politik Uang
Pengerjaan kuisioner itu dipakai sebagai syarat mahasiswa untuk mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS). Setiap mahasiswa, kata Makmur, diberi kuisioner untuk 10 orang responden. Syarat lainnya, mahasiswa harus mendapatkan juga salinan kartu identitas responden, serta diketahui oleh RT dan RW-nya. Makmur mengaku mengerjakannya.
ANWAR SISWADI