TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok mempertanyakan hasil riset kualitas udara yang dilakukan Greenpeace Indonesia, pada periode Februari-Maret. Adapun berdasarkan pemantauan Greenpeace, indeks polutan berbahaya particulate matter (PM) 2,5 di kawasan Depok mencapai 71,5 mikrogram perkubik.
Data tersebut hampir tiga kali lipat dari batas aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 25 mikrogram perkubik. "Metodenya apa yang digunakan," kata Kepala Seksi Penaatan Lingkungan DLHK Depok Indra Kusuma,
Indra memaparkan hasil uji kualitas udara di Depok, khususnya untuk membandingkan data Greenpeace di kawasan Beji (Kukusan) pada 2015 hasilnya 52 mikrogram perkubik. Sedangkan untuk Limo (Gandul) 50 mikrogram perkubik.
Baca: Greenpeace: Kualitas Udara Jabodetabek Buruk
Lebih lanjut ia menuturkan pada 2016 di Beji hasilnya 11,6 mikrogram perkubing, dan di Limo 52,2 mikrogram per kubik. "Depok paling tinggi tahun 2016 di Cinere 62 mikrogram perkubik."
Adapun standar yang digunakan Depok, mengacu pada Peraturan Pemerintah 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Di PP tersebut ambang batasnya 65 mikrogram perkubik. "Namun, tidak masalah kalau Greenpeace mau menggunakan standar WHO, untuk melihat potensi gangguan kesehatan," ucapnya.
Indra melihat kejanggalan hasil riset Greenpeace, dari perbandingan wilayahnya. Contohnya, di kawasan Gandul mencapai 71,5 mikrogram perkubik, yang angkanya berada di atas Tambun yang hanya 60,3 mikrogram perkubik.
Padahal, kata dia, Tambun merupakan wilayah industri. Selain itu, beberapa wilayah lain yang nilainya lebih kecil seperti Setiabudi (59,4), Antasari (40,3) dan lainnya. "Ini yang menjadi pertanyaan. Padahal di Gandul dan Kukusan masih banyak pepohonan dan ruang terbuka hijau," ucapnya.
Baca: Polusi Udara Merambah Kota Penyangga Jakarta
Untuk menghitung baku mutu udara ambivien diperlukan waktu 24 jam. Depok menghitung kualitas udara sesuai dengan aturan itu. Bahkan, laboratorium yang menguji hasilnya harus yang telah terakreditasi.
Selain itu, dalam menguji baku mutu ambivien udara tersebut mesti menggunakan metode gravimetri dengan menggunakan alat Hi-Vol. "Apakah Greenpeace menggunakan metode itu. Dan apakah kualitas udara diambil 24 jam?" tanya Indra.
Lebih jauh ia juga mempertanyakan hasil uji bakumutu yang dilakukan pada 28 Februari 2017. Soalnya, hasil di wilayah Gandul mencapai 132 mikrogram perkubik dan Kukusan 97 mikrogram perkubik.
"Sedangkan Tambun yang sudah banyak industri 81 mikrogram perkubuk dan Setiabudi yang sudah padat kendaraan 60 mikrogram perkubuk," ucapnya. "Justru saya mau bertanya sama Greenpeace bagaimana cara mereka mendapatkan hasil itu."
Pada Februari-Maret 2017, Greenpeace Indonesia memantau kualitas udara di 19 titik di Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya tidak ada satu daerah pun yang memenuhi standar aman bagi manusia yang ditetapkan WHO.
IMAM HAMDI