TEMPO.CO, Jakarta - Perburuan cacing sonari di area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dilakukan oleh puluhan warga sekitar kawasan taman nasional diduga terorganisir, sehingga pencariannya kian masif dan mengakibatkan kerusakan hutan taman nasional.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Adison mengatakan, pada awalnya pencarian cacing sonari ini hanya dilakukan oleh beberapa orang warga yang tinggal sekitar kawasan taman nasional dan hanya untuk kebutuhan obat dan tambahan ekonomi.
"Awalnya warga hanya mencari beberapa cacing sonari ke gunung untuk obat dan dijual ke pengunjung karena satu ekor cacing sonari ukuran panjang 5 sentimeter nilainya mencapai Rp 50 ribu," kata Adison.
Baca: Degradasi Lingkungan Gunung Gede Pangrango
Akan tetapi, kata Adison, dalam kurun kurang satu tahun terakhir tepatnya pada September 2016 lalu, jumlah pencari cacing semakin banyak bahkan mencapai 60 orang dan dibagi menjadi beberapa kelompok. "Setiap kelompoknya terdiri dari 10 bahkan 20 orang, untuk berburu cacing," kata dia.
Adison mengatakan, pihaknya sempat kesulitan untuk mengungkap perburuan cacing yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut, pasalnya setiap kali petugas melakukan operasi dan razia ke atas puncak gunung pasti tidak pernah menemukan pemburu cacing. "Setiap ada razia selalu bocor informasinya, sehingga petugas kami tidak menangkap pemburu cacing dan hanya menemukan sisa- sisa kerusakan hutan akibat ditebang," kata dia.
Namun, setelah melakukan penyidikan, akhirnya petugas menangkap Dinin, 48 tahun, warga Kampung Rahan RT 006 RW 08, Desa Cimacan, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur pada 24 Maret lalu. Ia diduga menjadi pengepul dan orang yang mendapat pesanan dari salah seorang pembeli dan pemilik modal. "Wajar aja setiap razia selalu bocor, ternyata pengepul sekaligus yang memberi perintah mencari cacing di puncak, adalah warga biasa berinteraksi dengan kami dan tinggal di sekitar kantor " ujar Adison.
Berdasarkan informasi, setiap warga yang naik ke puncak Pangrango untuk berburu cacing mendapat upah awal sebesar Rp 1 juta, yang diberikan sebelum berangkat mencari cacing selama 10 hari di hutan, sisa upahnya akan diberikan setelah mendapatkan hasil cacing buruannya. "Besaran sisa upah akan diberikan sesuai dengan banyaknya cacing yang diperoleh," kata Adison.
Baca: 20 Hektare Hutan Pangrango Rusak Akibat Perburuan Cacing Sonari
Sebelum dijual cacing-cacing tersebut harus diasap supaya kering, setelah itu baru dijual kembali pada pemesan dengan harga Rp 5 sampai 6 juta per kilogram. "Cacing sonari saat ini banyak diburu karena banyak fungsi dan khasiatnya, biasanya digunakan untuk obat, bahan kosmetik, bahkan ada juga yang diekspor ke Tiongkok untuk makanan trenggiling," kata dia.
Pelaku saat ini sudah diserahkan ke polisi dan diancam dengan pasal 75 ayat (12) juncto Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan/atau huruf m Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
M SIDIK PERMANA