TEMPO.CO, Jakarta -Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum mau memutuskan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan tiga nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Alasannya, hakim tidak ingin ambil resiko jika tiga nelayan yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pungutan liar itu melarikan diri. "Harus ada jaminan barang ke negara, agar jika terdakwa lari, barang itu disita," kata Ketua Majelis Hakim, H. Agusti dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin, 19 Juni 2017.
Sikap hakim itu mendapat protes dari pengacara terdakwa, Matthew Michele Lenggu. Sebab alasan majelis hakim dinilai tak berdasar. Kasus pungutan liar adalah perkara pidana karena itu jaminan permohonan penangguhan penahanan harus berupa orang, bukan barang.
Apalagi pekan sebelumnya majelis hakim memberi syarat yang berbeda. Hakim meminta agar permohonan penangguhan penahanan dibarengi dengan daftar orang-orang yang siap menjamin terdakwa. Namun dalam sidang hari ini hakim justru menolak warga Pulau Pari yang menyatakan siap memberi jaminan.
Penduduk yang bersedia menjadi penjamin itu jumlahnya puluhan. Mereka menempuh perjalanan yang jauh untuk datang ke persidangan. Di antara mereka terdapat orang tua yang membawa anak. Semuanya mengenakan pengikat kepala bertuliskan "perlawanan terhadap kriminalisasi".
Menurit Matthew, seharusnya hakim mempertimbangkan permohonan mereka. Tidak ada alasan bagi hakim untuk terus menahan mereka, karena tiga orang itu tidak akan kabur. "Sayangnya majelis hakim terkesan tidak menerima permohonan," ucap dia.
Tiga nelayan didakwa melakukan pungutan liar di Pantai perawan, Pulau Pari, Mereka adalah Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bachrudin alias Edo. Polisi menangkap mereka melalui operasi tangkap tangan beberapa bulan lalu.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari, Tigor Hutapea, menilai tuduhan kepada tiga nelayan itu adalah bentuk kriminalisasi terhadap nelayan. Diduga masalah ini berkaitan dengan sengketa antara warga Pulau Pari dengan PT Bumi Pari Asri. Perusahaan itu mengklaim memiliki 90 persen lahan di Pulau Pari. Apalagi sebelumnya seorang penduduk bernama Edi Priadi, 62 tahun, dipenjara karena dituduh memasuki pekarangan lahan perusahaan tanpa izin.
Baca: Nelayan Pulau Pari Serahkan Bukti Kepemilikan Tanah ke Ombudsman
Tigor menilai, surat dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum juga janggal. "Dakwaan yang disampaikan JPU tidak jelas, terdakwa melakukan apa, kapan, dan bagaimana," kata Tigor saat menyampaikan eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 12 Juni 2017.
Seharusnya, kata Tigor, jaksa merunut dengan jelas peran tiga nelayan Pulau Pari yang dituduh berbuat tindak pidana pungutan liar. Namun, yang terjadi, JPU tak bisa menjelaskan siapa berbuat apa dalam perkara tersebut. “JPU asal-asalan menuding klien kami tanpa bukti,” ujar Tigor.
AVIT HIDAYAT