TEMPO.CO, Tangerang - Para orang tua siswa di Tangerang dibuat resah oleh aturan yang diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Mereka mengaku kesulitan mendaftarkan anaknya ke sekolah menengah pertama negeri (SMPN) karena sistem zonasi berdampak pada domisili siswa dan kartu identitas orang tuanya.
Kisruh sistem zonasi PPDB membuat Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar melayangkan surat ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam suratnya, Zaki meminta Kementerian mengkaji ulang aturan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB. "Kami minta aturan ini ditinjau ulang dan kembali seperti yang dulu, yakni penerimaan sesuai dengan nilai, bukan zonasi," katanya, 11 Juli 2017.
Baca: PPDB SMP di Tangerang Selatan Terkendala Internet dan KTP
Menurut Zaki, apabila proses PPDB ini dilanjutkan, hasilnya akan carut marut. Meski menimbulkan masalah, kata Zaki, Pemerintah Kabupaten Tangerang masih menggunakan aturan tersebut dalam penerimaan peserta didik tahun ajaran baru ini.
"Kami tidak membuat terobosan terkait dengan solusi kekisruhan PPDB karena akan lebih rumit nantinya. Jadi kami masih gunakan Permendikbud yang ada sampai surat yang kita kirim ada balasan," ujarnya.
Siti R, orang tua siswa, mengatakan, meski nilai hasil ujian nasional anaknya cukup bagus, tapi karena dia tinggal di desa yang tidak masuk zona SMP yang dinginkan, maka status anaknya adalah prioritas kedua. "Kami bingung daftarkan anak ke SMPN 1 karena rumah di Desa Pete, tapi domisili saya tidak termasuk zona SMP itu," ujarnya kepada Tempo.
Junaidi, guru SDN Tigaraksa 4, mengatakan banyak orang tua siswa yang mengadu kepadanya perihal sulitnya mendaftar sekolah. Menurut Junaidi, dari 157 siswa SDN Tigaraksa 4, separuh jumlah itu belum mendapatkan sekolah.
"Sebagai guru kelas VI, saya prihatin. Banyak orang tua mengadu kebingungan atas kebijakan baru ini," ucapnya. Menurut Junaidi, dari pengaduan orang tua itu, ternyata di Tigaraksa ada sejumlah desa yang secara zonasi tidak masuk SMP mana pun, seperti di Desa Pete, Matagara, dan Seglog.
"Ada anak didik saya yang daftar sekolah, tapi kalah prioritas," tuturnya. Dia menambahkan, salah satu siswanya lulus dengan nilai ujian nasional 26. Namun, saat mendaftar ke SMPN 2 Tigaraksa, walaupun secara domisili dekat dengan lokasi sekolah, wilayah pemerintahan masuk Desa Matagara yang tidak terekam secara zonasi sehingga bukan prioritas pertama.
Di Tigaraksa, kata Junaidi, ada sejumlah desa yang dinyatakan masuk zonasi prioritas kedua. Artinya, anak-anak lulusan SD yang tinggal di desa itu tidak mendapatkan kesempatan prioritas pertama karena domisili mereka.
Karena itu, ujar Junaidi, mau tidak mau mereka harus menunggu hasil pengumuman penerimaan SMP pada 12 Juli 2017. "Kemungkinan harus ke swasta. Sebab, di SMPN 2, daya tampung sesuai P1 sudah terpenuhi. Sedangkan yang mendaftar lebih dari daya tampung sekolah," katanya.
Baca juga: Tahun Ini Depok Terapkan Sistem Zonasi di PPDB Tingkat SMP
Ada juga siswa Junaidi yang kategori P4 itu karena Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tuanya masih di DKI Jakarta walaupun sudah berdomisili bertahun-tahun di Tigaraksa. Jadi, kata Junaidi, zonasi ini tidak hanya menyangkut jarak, tapi juga harus memiliki KTP sesuai dengan domisili. “Mestinya kebijakan nasional seperti yang diterapkan Kementerian Pendidikan itu disosialisasikan ke tingkat kabupaten dan kota,” ucapnya.
AYU CIPTA