TEMPO.CO, Jakarta - Koran Tempo kembali memilih dan menobatkan Tokoh Metro. Ajang ini digagas untuk mengapresiasi orang-orang yang berjasa memantik perbaikan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Mereka, dengan cara unik dan kreatif, telah membantu pemerintah mengatasi persoalan dan membuat wajah kota menjadi lebih ramah. Salah satu penerima penghargaan itu adalah Guido Quiko.
Lagu keroncong Bandar Djakarta mengalun dari mulut Guido Quiko. Sambil bernyanyi, jemarinya lincah memainkan gitar kecil seperti ukulele. “Gitar ini namanya macina dan ini identitas Keroncong Tugu,” ujar Guido di rumahnya di kawasan Tugu, Jakarta Utara, Sabtu dua pekan lalu.
Lelaki 48 tahun itu pemimpin Orkes Keroncong Tugu Cafrinho generasi keempat. Dia didapuk pada 2006 setelah ayahnya, Samuel Quiko, meninggal. Sebelumnya, ia wakil Samuel di orkes keroncong itu.
Baca: Tokoh Metro 2017, Rohim: Tempat Paku Bukan di Jalanan
Dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe, Alwi Shahab menulis Keroncong Tugu lahir di zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan merupakan induk semang musik keroncong di Indonesia. Para keturunan Portugis bekas tawanan Belanda yang menetap di tanah berawa di tenggara Batavia, kini Kampung Tugu, menciptakan musik ini untuk menghibur diri.
Mereka membikin alat musik sendiri dari kayu kembang kenanga dan menamainya macina, frunga, dan jitera. Ketiganya alat musik petik, berbentuk seperti ukulele dan gitar, cuma beda ukuran. Frunga dan jitera lebih besar. Karena bunyinya crong-crong, masyarakat sekitar menamakannya keroncong. “Yang menamakan keroncong bukan kami,” ujar Guido, meneruskan cerita turun-temurun.
Musik Tugu mula-mula diperkenalkan oleh Orkes Poesaka Krontjong Toegoe. Kelompok ini berjaya hingga zaman Orde Baru. Tapi, sejak awal 1990, mereka mulai terbelah. Pada 2001 sudah ada empat kelompok Keroncong Tugu: Cafrinho, Moresco Tugu IV, OK Tugu, dan Tugu Reni Jaya.
Seiring dengan perkembangan zaman, alat pengiring keroncong tak lagi cukup dengan macina, frunga, dan jitera. Cafrinho dan beberapa kelompok keroncong Tugu lainnya menambahkan gitar, celo, dan biola. Kelompok lain malah ada yang menggantikan macina dengan ukulele. Tapi Guido mempertahankannya. “Saya ingin menjaga tradisi dan eksistensi keroncong Tugu,” ujarnya.
Kata “cafrinho” berasal dari bahasa Portugis yang berarti sekelompok pemain musik. Dibanding kelompok lain, Orkes Keroncong Tugu Cafrinho paling berjaya. Di masa Samuel Guido, kelompok ini melanglang buana ke hingga ke mancanegara. Mereka berturut-turut tampil di Tong-tong Fair di Den Haag, Belanda, sejak 1994. Pada 2006 mereka mendapat anugerah budaya dari pemerintah Jakarta.
Guido adalah anak kedua Samuel Quiko. Ia merasakan, menjaga Keroncong Tugu saat ini jauh lebih berat dibanding sebelumnya. Selera musik masyarakat berubah. Apalagi anak-anak muda sekarang lebih menyukai musik Barat.
Baca: Tokoh Metro 2017, Lita Anggraini: Perlindungan buat PRT
Demi menarik minat penikmat belia, Guido dan kelompoknya mulai menyisipkan lagu-lagu Barat dengan aransemen keroncong dalam pentasnya. Sebagai contoh, Ahad dua pekan lalu, Cafrinho tampil di sebuah hotel membawakan lagu pop elektronik Rockabye karya kelompok musik asal Inggris, Clean Bandit. “Agar keroncong tidak mati, sesuaikan dengan zaman,” kata Guido.
Keteguhan Guido Quiko untuk menjaga seni tradisi leluhurnya mendapat apresiasi dari tim juri Tokoh Metro 2017. Pria itu dinilai layak mendapat anugerah atas “kesetiannya” itu.
Biodata
Nama: Guido Quiko
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 27 Mei 1969
Pendidikan terakhir: SMA
Pekerjaan: pemimpin Keroncong Tugu Cafrinho
Penghargaan: Anugerah Budaya dari Gubernur DKI Jakarta pada 2006.
TIM KORAN TEMPO