TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Konstruksi PT Mass Rapid Transit Jakarta Silvia Halim mengatakan pemasangan sistem persinyalan kereta MRT akan dimulai akhir tahun ini. Pekerjaan tersebut ditargetkan rampung pada semester pertama tahun depan. Saat ini, peralatannya sedang dites perusahaan pembuatnya.
Di sela Seminar Persinyalan dan Sistem Telekomunikasi MRT Jakarta, kemarin, Silvia menjelaskan, operasional kereta MRT menggunakan sistem communications-based train control (CBTC). CBTC adalah sistem persinyalan yang memanfaatkan radio komunikasi antara perangkat di kereta dan di luar kereta. Dengan begitu, informasi tentang posisi kereta lebih akurat dan aman dibanding sistem persinyalan perkeretaapian Indonesia saat ini.
Baca Juga:
Baca: Butuh Rp 25,1 Triliun, PT MRT Minta Dukungan DPRD DKI
Sambil menunggu sistemnya dipasang, MRT Jakarta sedang mengurus pembuatan menara pendingin dan menara ventilasi. Setiap stasiun dilengkapi satu menara pendingin dan dua menara ventilasi yang akan berada di dalam gedung atau trotoar. “Masing-masing menara itu secara berturut-turut luasnya 200 meter persegi dan 100 meter persegi dengan tinggi sekitar 11 meter,” kata Silvia.
Pemerintah DKI Jakarta, kata Silvia, memberikan kompensasi kepada pemilik yang gedungnya menjadi lokasi kedua menara. Kompensasinya bisa berupa integrasi gedung ke stasiun MRT, peningkatan koefisien lantai bangunan, atau keringanan pajak.
Baca: WIKA: Proyek MRT dan LRT Berjalan Sesuai Target
Secara keseluruhan, Silvia mengatakan progres pembangunan infrastruktur MRT mencapai 76 persen per akhir Juli lalu. Dari 13 stasiun yang berada di koridor Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia, perkembangan konstruksi Stasiun Haji Nawi tergolong paling lambat karena lahannya masih menjadi obyek perkara di pengadilan. Stasiun Haji Nawi tampaknya tak bisa digunakan bersamaan dengan peresmian MRT pada Maret 2019. “Bisa dilewati kereta, tapi kereta tak berhenti di sana,” ujarnya.
Kepala Departemen Sinyal, Telekomunikasi, dan Teknologi Informasi PT MRT Jakarta Yanto Yulianto menuturkan instalasi persinyalan MRT disediakan konsorsium Metro One dengan kontrak berlabel CP 107 yang diteken April 2015. Saat diteken, total nilai kontrak CP 107 sebesar Rp 1,28 triliun.
Lingkup pekerjaannya di antaranya sistem persinyalan, sistem telekomunikasi, fasilitas supervisory control and data, sistem pembayaran automatic fare collection, dan penyediaan pintu pembatas peron dengan rel. Khusus persinyalan, sistemnya dibuat perusahaan Jepang, Nippon Signal Ltd, yang juga anggota konsorsium.
Baca: PT MRT Indonesia Siapkan Pengembangan Jalur Fase 3 dan 4
Berdasarkan tampilan fisik, Yanto menjelaskan, tak akan ada lampu penunjuk sinyal dalam sistem CBTC. Pada MRT, persinyalannya otomatis dan melekat di kereta. Sistem di kereta akan saling mengirim informasi dan akan menghitung jarak antar-kereta. Kereta hanya akan berjalan jika hasil perhitungan menunjukkan jarak aman.
Lantaran sistemnya otomatis, Yanto berujar masinis hanya bertugas menutup pintu kereta. Masinis baru akan mengoperasikan kereta saat memasuki area dipo. Sebab, saat mendekati dipo, sistem CBTC akan beralih ke sistem manual bernama automatic train protection. “Pertimbangan peralihannya karena aktivitas di dalam dipo tak terlalu sibuk,” ucapnya.
Baca: Pintu Stasiun MRT Dibangun, Lalu Lintas Bundaran HI Direkayasa
Pengiriman dan penerimaan sinyal menggunakan sistem telekomunikasi frekuensi teknologi tetra yang harus mengantongi izin penggunaan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Saat terjadi kegagalan pengiriman sinyal, kereta akan berhenti. Selain lebih aman, CBTC membuat jarak kedatangan kereta lebih terjamin. MRT Jakarta menargetkan waktu kedatangan di antara dua kereta lima menit.
LINDA HAIRANI