TEMPO.CO, Jakarta - Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Jawa Barat tak mempermasalahkan bakal bermunculan sekolah terbuka yang lain seperti di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 di Kecamatan Medansatria. "Asalkan ada kesepakatan tidak masalah," kata Kepala Dinas Pendidikan, Kota Bekasi, Ali Fauzi, Senin, 14 Agustus 2017.
Di SMA Negeri 10, Kota Bekasi tahun ini membuka sekolah terbuka. Ini menyusul adanya 72 pelajar yang nasibnya terkatung-katung setelah mendaftar melalui jalur zonasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota Bekasi. Rupanya, Dinas Pendidikan Jawa Barat selaku pemegang kendali SMA/SMK Negeri tidak mengakomodir mereka.
Baca juga: 57 Siswa Titipan di SMA 10 Bekasi Masuk ke Sekolah Terbuka
Namun, dari 72 pelajar, hanya 57 yang bersedia masuk ke sekolah terbuka. Sisanya memilih ke sekolah swasta. Meski terdaftar menjadi sekolah terbuka, namun orangtua siswa menginginkan anak mereka mendapatkan hak belajar seperti sekolah reguler. "Akhirnya pihak sekolah bersedia belajar seperti reguler," kata Ali.
Namun, konsekuensinya, kata dia, siswa di sekolah terbuka SMA Negeri 10 harus bersedia membayar untuk membantu operasional sekolah. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 200-300 ribu setiap bulan. Sayangnya, gedung yang dipakai bukan di SMA N 10, melainkan milik SMK Yaperti. "Letaknya berdekatan, yayasan juga bersedia meminjamkan kelasnya hingga tiga tahun ke depan," kata Ali.
Baca Juga:
Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta, Ayung Sardi Dauly mengatakan, sekolah terbuka atau pendidikan jarak jauh (PJJ) diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan. "Gubernur Jawa Barat juga telah menerbitkan Surat Keputusan," kata dia.
Hanya, kata dia, sekolah terbuka dikhususkan warga tidak mampu, anak putus sekolah, dan anak yang mempunyai aktivitas bekerja karena membantu orang tuanya. "Bukan siswa baru, kalau di SMA Negeri 10 terdapat pengecualian," katanya.
Baca juga: Jangan Telantarkan Pelajar
Ia mengaku tak khawatir pembentukan sekolah terbuka seperti di SMA Negeri 10 menjadi modus baru penambahan jumlah peserta didik baru. Sebab, orangtua siswa saat ini belum sepenuhnya faham mengenai sekolah terbuka. "Justru kami kasihan kepada orang tua," kata dia.
Ia mengatakan, ijazah yang dikeluarkan oleh sekolah terbuka hampir mirip dengan sekolah kesetaraan atau kejar paket. Ia khawatir orangtua siswa atau siswa itu sendiri menyesal di kemudian hari setelah lulus. "Di sini semua berperan untuk memberikan edukasi mengenai sekolah terbuka atau pendidikan jarak jauh," ujar dia.
Menurut Ayung, sekolah terbuka yang muncul tak sesuai dengan peraturan berpotensi mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah swasta. Karena itu, penyelenggara sekolah terbuka harus patuh terhadap peraturan yang ada. "Jumlah pendaftar ke sekolah swasta mengalami penurunan setiap tahun hingga 15 persen," kata dia.
ADI WARSONO