TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Rianti Damayanti, 48, mobil tak lagi bermakna kemewahan. Sebaliknya, mobil adalah alat yang menghantarkan ke “gerbang neraka” bernama kemacetan Jakarta.
Setiap hari dia harus menempuh perjalanan minimal dua jam dari rumahnya di pinggiran Jakarta Timur hingga ke sekolah anaknya di Rawamangun, Jakarta Timur. “Kalau parah bahkan bisa tiga jam, dan apalagi sejak ada proyek pembangunan jalan layang dan terowongan, ” kata ibu dua anak yang mantan model itu.
Baca juga: Tiga Proyek Dibangun Bersamaan, Tol Cikampek Macet
Ledakan jumlah penduduk yang luar membuat kemacetan di kota-kota seperti Jakarta makin kronis. Setiap tahun jumlah penduduk Indonesia bertambah 4,5 juta jiwa, sementara posisi Jakarta sebagai tujuan favorit kaum urban tak tergoyahkan. Maka abaikan saja harapan bahwa Jakarta akan menjadi kota yang manusiawi.
Suasana menegangkan tersebut tampaknya tak akan mereda selama jumlah penduduk Jakarta terus melesat. Statistik pemerintah Jakarta menunjukkan, jumah penduduk yang resmi pada tahun ini sudah melewati 10 juta. Pada 2012, jumlah penduduk Jakarta tercatat 9,7 juta jiwa. Tahun lalu sudah naik menjadi 10,3 juta jiwa. Hal serupa juga terjadi di Depok. Saban tahun jumlah penduduk bertambah 3,6 persen.
Maka tak heran, bila produsen GPS Tomtom menyebut Jakarta adalah kota terparah dalam soal macet keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest. Ramalan itu mirip dengan prediksi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 lalu. JICA meramalkan Jakarta menjadi kota gagal akibat kemacetan yang parah. Ramalan itu kini terbukti.
"Di masa sekarang, tekanan terhadap lalu lintas begitu ketat, kita harus mengambil solusi," kata Menteri Perhubungan Budi Karya.
Menurut Budi, jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 47 juta orang dan ada 19,4 juta yang berkegiatan sehari-hari di Jakarta. "Kalau di Skandinavia itu bisa jadi sepuluh 10 negara tapi itu ada di satu kota, di Jabodetabek," ucapnya.
Budi juga mencatat ada hal yang sangat memprihatinkan terkait rasio kecepatan laju kendaraan akibat angka populasi tersebut.
"Bahkan ada kecepatan yang sudah sangat prihatin, orang berkendara 10 hingga 20 km per jam," kata dia.
Kondisi kemacetan itu membuat penduduk Jabodetabek semakin tertekan hidupnya. Penelitian terbaru dari Fakultas Piskologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan persentase penderita stres di Jakarta juga sangat tinggi. Sekitar 49 persen wanita dan 39 persen wanita menderita stres.Hal ini makin membuat Jakarrta sesungguhnya bukan tempat yang layak untuk dihuni.
IMAM HAMDI | NUR QOLBI (MAGANG) | BS