TEMPO.CO, Jakarta - Dua pekan terakhir cuaca di Jakarta cukup panas, terutama pada siang hari. Kepala Subbidang Analisis dan Informasi Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Adi Ripaldi mengatakan saat ini Indonesia, terutama Jakarta, sedang mengalami musim kemarau tapi dengan suhu yang masih dalam tingkat wajar.
"Dari segi sains dan klimatologi, kondisi panas ini memang masih wajar. Temperatur saat siang paling tinggi di Jakarta ini 33-34 derajat Celsius, bukan cuaca ekstrem," ujar Adi saat ditemui Tempo di Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.
Baca: Bendungan Katulampa Kosong, Tak Ada Air untuk Jakarta
Adi menganggap cuaca ini sebagai fenomena urban heat. “Biasa terjadi di kota besar. Urban heat merupakan penyebab panasnya Jakarta di siang hari,” kata Adi.
Menurut Adi, campuran dari udara kering yang dibawa angin monsun Australia, tidak adanya hujan, serta berbagai partikel, seperti debu dan karbon dioksida, menyebabkan udara di Jakarta terasa panas pada siang hari. “Perubahan tata lingkungan juga menjadi salah satu faktor terbesar yang mendorong terjadinya urban heat,” ucapnya.
Kurangnya pepohonan untuk menyerap karbon dioksida, padatnya kendaraan, serta banyaknya bangunan menyebabkan radiasi panas yang dipancarkan oleh matahari sulit diserap. Yang terjadi adalah pemantulan energi panas, sehingga membuat suhu udara di sekitarnya menjadi lebih panas.
"Panas yang belakangan dirasakan itu tidak murni dari matahari. Justru pantulan energi panas dari gedung-gedung dan kendaraan yang bikin panas," ujar Adi. Kondisi kemarau seperti ini, kata Adi, akan berlangsung sampai awal Oktober 2017. “Pada tanggal tersebut baru akan mulai terjadi hujan secara intensif,” kata Adi.
Baca juga: BMKG: Cuaca di Jakarta Cerah Sepanjang Hari
Adi menyarankan pemerintah tetap mempertahankan atau bahkan memperluas ruang terbuka hijau di kota-kota besar, khususnya Jakarta. “Pepohonan berperan penting untuk meredam fenomena urban heating yang ada di kota besar,” kata Adi.
ADAM PRIREZA