TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah pengusaha laundry mengaku kesulitan memenuhi permintaan Pemerintah Kota Jakarta Barat untuk membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) dan tidak menggunakan air tanah. Akibatnya, mereka memilih menutup usaha atau pindah tempat usaha.
Suryadi, 70 tahun, pemilik Prima Laundry, mengatakan cukup berat untuk membangun IPAL karena tidak memiliki modal. “Untuk kredit apa yang saya mau kasih sebagai jaminan?”, ujarnya. Ia mengakui bahwa apa yang dilakukannya memang salah, tetapi ia juga menilai kebijakan yang diambil pemerintah salah. “Kami memang salah, tetapi jika pemerintah memikirkan pengangguran yang akan terjadi, pemerintah tidak akan ambil kebijakan seperti ini.”
Ia mengatakan cukup senang dengan rencana pemerintah yang akan merelokasi laundry, tapi sampai saat ini belum ada realisasinya. “Seharusnya pemerintah kasih kami tempat nantikan bisa dicicil. Jangan lepas tangan begini.” ujar Suryadi.
Suryadi mengatakan akan segera menutup tempat usahanya dalam waktu satu bulan.”Saya bisa jual mesin-mesin yang saya punya sudah cukup untuk tabungan masa tua saya.” katanya. "Saya sudah pusing mikirin permaslahan ini.Lebih baik mundur atau mengalah." ujarnya.
Syahrul Bakri, pemilik Saba Laundry, mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun satu pengolahan limbah terpadu sehingga tidak membebani pengusaha. “Seharusnya seperti di Bandung, ada satu perusahaan yang dibentuk khusus menangani masalah limbah," katanya.
Pemerintah Daerah Jakarta Barat saat ini memang tengah gencar mengadakan razia kepada para pengusaha laundry yang ditenggarai tidak memiliki IPAL dan menggunakan air tanah untuk kepentingan usahanya. Hal itu karena limbah laundry diduga menimbulkan pencemaran lingkungan. Disamping itu penggunaan air tanah dalam jumlah besar juga ditenggarai menyebabkan debit air tanah bagi penduduk berkurang dan mengakibatkan permukaan tanah di daerah Sukabumi Selatan menurun.
Febrian