TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Dinas Pendidikan Taufik Yudi Mulyanto mengaku tidak berkenan menghadiri pemanggilan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terkait kasus penahanan rapor SMP Negeri 1 Cikini. Menurutnya, Komnas PA bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara. "Komnas PA cuma LSM. Saya tidak ada kewajiban untuk datang," ujar Taufik saat dihubungi, Ahad, 3 Juli 2011.
Taufik menerangkan, pihaknya terbuka terhadap Komnas PA untuk membahas kasus tersebut di kantornya. Jika pertemuan terealisasi, Taufik berjanji akan turut mengundang pihak komite sekolah dan Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Cikini. "Biar semuanya jelas," katanya. Dia menilai pemanggilan dirinya tidak logis karena penahanan rapor urusan dalam sekolah. "Hubungannya ke dinas tidak secara langsung."
Sebelumnya, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait memanggil Taufik Yudi Mulyanto, Kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Pusat, Zaenal Soleman, Kepala SMP Negeri 1 Cikini, Subardjo, serta Ketua Komite Sekolah SMP Negeri 1 Cikini, Adi Junaedi, pada Kamis, 30 Juni 2011, pekan lalu. Pemanggilan itu didasari temuan Komnas PA yang menilai penahanan rapor kenaikan kelas sarat pelanggaran hak anak. Namun, pemanggilan itu hingga kini tidak digubris pihak terkait.
Adi Junaedi membantah adanya penahanan terhadap 125 rapor siswa kelas VII dan VIII saat hari pengambilan. Yang benar, menurut dia, hanya sebanyak 13 rapor. "Empat rapor tidak diambil karena wali murid tidak hadir, 2 karena sakit, dan yang 7 rapor sebenarnya sudah dilihat, tapi tidak diambil," tuturnya, beberapa waktu lalu.
Enam wali murid yang mengadukan masalah penahanan rapor ke Komnas PA sepakat memidanakan kasus ini. Mereka berpendapat pihak sekolah harus diberi sanksi pidana agar kejadian serupa tidak terulang. "Kalau sanksi administrasi saja tidak cukup. Harus ada efek jera," kata Milang, salah seorang wali murid, di kantor Komnas PA beberapa waktu lalu.
Sekretaris Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan, Jumono, amat berkeberatan pembagian rapor diharuskan barter dengan kupon. Kupon ini diperuntukan wali murid yang belum melunasi Sumbangan Peserta Didik Baru (SPDB) sebesar Rp 7 juta. "Ini ambil rapor atau sembako," kata Jumono, Ahad, 3 Juli 2011.
Dalam dokumen foto yang Tempo terima, kupon itu berbentuk kertas kecil. Jika mendapat persetujuan Komite, di kertas itu akan ditulis "acc untuk diberikan rapor". Yang bertanda tangan di kupon itu adalah Sekretaris Komite Sekolah bernama Azis. Pada Jumat pekan lalu, 125 wali murid memprotes karena rapor anak mereka ditahan. Alasan sekolah, wali murid harus melunasi dulu uang SPDB sebesar Rp 7 juta.
HERU TRIYONO