TEMPO.CO, Jakarta - Cetar! Suara cambuk membahana di lapangan depan Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat. Iring-iringan gamelan mengiringi atraksi serupa akrobat. Yang unik, para pelakunya beberapa pria dengan beragam usia. Ada yang berusia 20-an hingga bocah kelas 2 SD.
Mereka beratraksi jungkir balik, makan beling, membuat piramida manusia dan salto jumpalitan. Sambil berakrobat, cambuk terus disabet ke sana ke mari. Beberapa kali cambuk mengenai tubuh dan wajah mereka. Setiap kali terkena, mereka meringis kesakitan, tapi terus menari.
Begitulah kelompok seni kuda lumping Putra Buana Muda mengemas pertunjukan hiburan mereka. Grup kesenian tradisional yang dipimpin Amron, 73 tahun, itu tampil setiap akhir pekan atau hari libur di Kota Tua, Muara Angke.
Mereka hanya manggung saat hari libur. Soalnya para pemain kuda lumping yang masih anak-anak harus tetap bersekolah di Bekasi, tempat tinggal mereka.
Kelompok kuda lumping ini beranggotakan 30 orang. "Semuanya keluarga, anak, menantu, cucu, dan keponakan," tutur Amron usai pertunjukan pertama pada Selasa, 1 Januari 2013.
Bocah terkecil dalam kelompok itu, Tole Hermanto, baru duduk di kelas 2 SD. Dia adalah anak bungsu Amron. Ketika ditanya apakah itu cambuk betulan, dengan lantang dia menjawab, "Beneran, masak bohongan," kata si bocah sambil terkekeh.
Dengan polos dia mengatakan sudah biasa disabet cambuk sejak kecil. "Dulu sih sakit, tapi sekarang enggak. Sudah biasa," katanya.
Amron mengatakan, Tole sudah diajari atraksi kuda lumping sejak umur tiga tahun. Pada awalnya dia diajari main gamelan. Baru sedikit-sedikit, belajar akrobat, cambuk, dan debus. Tole kini sudah bisa berjalan dengan tangan atau salto ke belakang, tetapi dia belum diizinkan menelan api atau beling.
Setiap kali bermain, Yuli, 20 tahun, anak perempuan Amron akan mengedarkan baskom untuk meminta bayaran dari penonton, seikhlasnya. "Dapatnya enggak tentu, kadang Rp 60.000, kadang bisa sampai Rp 300.000," katanya. Musuh utama mereka satu, cuaca.
Jika hujan turun seperti hari ini, pertunjukan bisa bubar tiba-tiba. Malam tahun baru kemarin, mereka juga batal tampil karena hujan.
Atraksi kelompok itu kadang diselipi dialog dengan banyak umpatan. Tapi, toh, penonton yang jumlahnya ratusan itu tetap tertawa. "Seru, atraksinya menghibur," kata tiga remaja yang menonton bersama: Tuti Alawiyah, Siti Julaiha, dan Siti Rahayu. Mereka mengaku sudah beberapa kali menonton pertunjukan itu di Kota dan Muara Angke.
ANGGRITA DESYANI