TEMPO.CO , Jakarta - Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan banjir besar yang merendam Jakarta pada pekan lalu tak terelakkan. Soalnya bantaran kali di Jakarta sudah dipenuhi permukiman warga. Hal itu membuat daya tampung sungai semakin kecil dan mempersulit jalannya proyek normalisasi kali.
Jalan keluarnya, pemerintah perlu lebih serius menggarap masalah pengairan. "Sekarang anggaran PU untuk jalan dan air itu berbeda jauh, jadi memang anggaran yang ada tidak cukup untuk melakukan perawatan sungai," kata Yayat ketika dihubungi Tempo, Kamis, 24 januari 2013.
Menurut dia, anggaran perawatan sumber daya air di Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta hanya sekitar Rp 100 miliar untuk lima wilayah. Sementara anggaran untuk jalan bisa mencapai Rp 2 sampai 3 triliun. "Kelihatannya memang tata air ini tidak menjadi prioritas karena selama ini yang diributkan lebih banyak soal kemacetan."
Dia menyebutkan bahwa banjir sudah menjadi masalah yang tak terelakkan di Jakarta. "Banjir itu sulit hilang dari Jakarta, hanya bisa mengurangi daerah rawan banjir," kata dia. Itupun tak bisa dilakukan hanya dengan membangun atau memperlebar saluran air.
Solusi yang bisa dilakukan adalah membuat lebih banyak sumur serapan air agar air tak hanya mengalir ke sungai. Ruang terbuka hijau juga harus ditambah. "Intinya perlu ada pemetaan ulang kawasan Jakarta dan dikembalikan sesuai fungsinya."
Sungai-sungai yang ada di Jakarta pun harus dikeruk agar dapat menampung air sesuai kapasitasnya. Soalnya saat ini banyak sungai yang sudah menyempit dan semakin dangkal karena adanya permukiman di tepi sungai. Keberadaan permukiman itu pula yang membuat penanganan banjir semakin sulit.
Yayat menuturkan, permukiman warga itu membuat langkah mencegah banjir mentok, kalaupun mau dikeruk alat berat susah untuk masuk. Pendangkalan sungai karena erosi dan kebiasaan masyarakat membuang sampah ke kali juga menyebabkan risiko banjir semakin tinggi.
ANGGRITA DESYANI