TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan meminta Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk memanggil Kepala Sekolah Dasar Negeri 25 Pagi Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur. Alasannya, kata dia, sekolah telah menarik uang dari siswa tanpa dasar hukum yang jelas alias pungutan liar (pungli). "Di sekolah kan tidak boleh lagi ada pungutan, Gubernur harus minta penjelasan kepala sekolahnya," kata Azas kepada Tempo, Jumat 15 Februari 2013.
Informasi soal pungutan liar itu disampaikan orang tua siswa yang mengadu ke FAKTA. Dia menjelaskan setiap bulan para siswa harus membayar uang kas Rp 15 ribu. Jika ada acara atau kegiatan para siswa kembali dimintai biaya. "Macem-macam pungutannya ada kas Rp 15 ribu, sumbangan untuk bangun ruang tunggu, mushala, dan pot bunga," ujarnya.
Menurut dia, sebagian orang tua siswa yang merasa keberatan sudah menanyakan pungutan ini kepada kepala sekolah, tapi malam mendapat intimidasi. "Intimidasinya berupa kata-kata kasar. Ada guru yang bilang waktu masuk sekolah ngemis-ngemis sekarang disuruh bayar tidak mau," ujarnya.
Bahkan, kata dia, ada yang melontarkan perkataan dengan menyebut orang tua siswa sebagai keluarga miskin. "Ini harus ditindak, sebagian orangtua sepakat karena adanya intimidasi itu."
Orang tua murid kelas II yang berinisial EL mengatakan jumlah total pungutan yang dibebankan ke siswa mencapai sekitar Rp 750 ribu. Menurut dia, modusnya pungutan sebanyak itu untuk membangun sarana ibadah, ruang tunggu, kartu tanda siswa, pot bunga, dan seragam.
Rinciannya, Rp 500 ribu untuk membeli seragam sekolah, Rp 200 ribu untuk tempat ibadah, Rp 20 ribu untuk ruang tunggu, Rp 15 ribu untuk pengadaan pot bunga, dan Rp 15 ribu membuat kartu tanda siswa. Setiap bulannya, kata dia, anaknya juga diwajibkan membayar iuran kas Rp 15 ribu per. "Katanya untuk gaji sekuriti sekolah."
Kepala SDN 25 Utan Kayu Selatan, Evi Silviyanti, mengatakan pungutan untuk membeli pot bunga, pembangunan mushala, ruang tunggu orang tua murid, dan gaji petugas keamanan sekolah itu inisiatif dari Komite Sekolah. "Komite Sekolah memungut Rp 15 ribu untuk itu," ujarnya.
Evi mengaku ikut mencarikan donatur membangun ruang tunggu dan gaji securiti. Kalau yang pot bunga ini, kata dia, baru tahu saat rapat orang tua murid Kamis kemarin. “Di rapat itu juga sudah saya hapuskan pungutan uang kas itu. Namun untuk seragam seperti baju batik dan olah raga, siswa harus membelinya di sekolah. Itu juga tidak setiap tahun”, ujar dia. Simak soal berbagai modus pungutan liar di berbagai lembaga.
AFRILIA SURYANIS