TEMPO.CO, Jakarta - Rumah Sakit Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan membantah melakukan malpraktek atas pasien skoliosis, Sellywayn Carolina. "Rumah Sakit sangat sedih. Kami sudah berusaha maksimal tetapi dibilang malpraktek," kata Lia G. Patrakusuma, Direktur Medik dan Perawatan RS Fatmawati kepada Tempo, Jumat 22 Februari 2013.
Menurutnya, rangkaian pengobatan putri Darwin Lubis tersebut belum selesai. Gadis itu menderita skoliosis, kondisi tulang belakang miring ke samping. Dalam kasus Selly, hingga 60 derajat. Setelah menjalani operasi, kemiringannya jadi 25 derajat. "Itu sudah maksimal."
Pelurusan tulang melalui operasi dengan pemasangan pen di tulang punggung Selly pada 1 September 1999. Dia pulang dari rumah sakit dua pekan kemudian, 14 September. Seharusnya, Selly datang lagi ke RS pada 16 September tahun itu agar dokter bisa mengontrol kondisinya. "Tapi dia baru datang 20 April 2000."Lalu, dia diminta datang lagi pada 28 April. Namun kenyataannya Selly tidak muncul lagi.
Padahal, Selly perlu latihan agar dapat menyesuaikan diri dengan pen yang dipasang. "Kawat pen tidak bisa langsung lurus. Itu harus dengan fisioterapi berbulan-bulan sampai setahun. Tujuannya, untuk mengurangi nyeri punggung dan rasa tidak nyaman," kata Lia.
Dia mengakui, tulang punggung Selly yang miring tidak mungkin lurus sempurna seperti orang normal. Namun bukan berarti Selly kehilangan harapan hidup normal. "Selly bisa latihan bagaimana hidup dengan pen itu, melatih otot sekitar punggung agar seimbang," ujarnya.
Nah, pada 18 Februari 2005, pejabat RS Fatmawati dikejutkan dengan tuntutan Darwis melalui Polda Metro Jaya. Darwis menggugat pidana Prof. Broto dan dr. Lutfi yang mengoperasi Selly.
Mereka lalu mengacu pada hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 25 Mei 2005. Visum menyatakan, luka operasi baik. "Tindakan operasi yang dilakukan berupa pemasangan alat tidak menimbulkan gangguan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari," kata Al-Saqiq dari Komite Etik dan Hukum RS Fatmawati.
Karena itu, Polda Metro akhirnya mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan beromor: S.Tap/1361/VIII/2010/Ditreskrimum PMJ tertanggal 30 Agustus 2010. Rupanya, kasus belum tutup buku buat Darwis. Dia kembali mempermasalahkan ini tahun lalu. Pada 2012, Komisi Nasional HAM mencoba memediasi kedua pihak. Darwis menolak, meski Selly sempat diperiksa lagi oleh pihak rumah sakit.
Padahal, menurut Lia, rumah sakit sudah menawari bantuan kesehatan jika Selly masih memiliki keluhan kesehatan. "Sekarangpun kalau Selly perlu pengobatan akan kami bantu." katanya. Hasil pemeriksaan terakhir atas Selly menunjukkan, gadis yang kini berusia 29 tahun itu hanya perlu rehabilitasi.
Bagaimanapun, Saqiq mempersilakan Darwis mengajukan tuntutan. "Silakan saja, itu hak dia." ujar Saqiq. Adapun Lia menyayangkan sikap Darwis. Sebab, proses hukum yang panjang bisa berdampak buruk bagi kondisi psikologis Selly. Prof. Broto yang dituntut juga telah meninggal tahun lalu.
ATMI PERTIWI