TEMPO.CO, Jakarta - Preman mulai merambah Jakarta pada akhir abad ke-19. Ketika itu Jakarta masih bernama Batavia. Kata pengamat kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, beberapa preman ternama kala itu di antaranya si Conet, Angkri, si Pitung, Entong Gendut, dan Kai'in bin Kayah.
"Pada masa itu, preman muncul untuk menolong rakyat miskin," kata Yahya, Jumat, 15 Maret 2013. "Mereka merampok harta milik tuan tanah dan Belanda untuk diberikan ke orang kampung."
Di mata sejarawan Belanda, Pitung dan teman-temannya adalah pembuat rusuh. Mereka dijuluki perampok, tukang jagal. Namun, di mata masyarakat pribumi, mereka merupakan pahlawan. "Ada rasa kebangsaan kala mereka merampok," ujar Yahya.
Setelah Indonesia merdeka, hingga masa kini, terjadi pergeseran akan arti kata preman. Sejak tahun 1950-an, preman tidak lagi merusuh untuk kepentingan rakyat. Preman masa kini bergerak untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Bahkan hampir semua preman hanya memiliki nyali. Dan ada pihak-pihak yang memodali mereka untuk terus eksis.
"Tidak ada ideologi kebangsaan dalam pikiran preman sekarang," kata Yahya. "Bagi mereka, yang penting uang masuk, dapur ngebul."
Perubahan pergerakan preman ini dimulai oleh Mat Item. Pada tahun 1950, Mat Item melawan kebijakan Pemerintah RI. Kata Yahya, Mat Item merasa ikut berperan mengusir tentara Belanda dengan bergabung sebagai tentara rakyat. Namun, pada era kemerdekaan, ia tidak mendapatkan peluang bagus di pemerintahan.
Dikenal sebagai raja tega, Mat Item merampok berbagai kalangan masyarakat. Hingga ia tewas ditembak Pasukan Kala Hitam pada 1952. "Waktu meninggal, banyak ditemukan senjata hingga jimat di tubuhnya."
CORNILA DESYANA
Baca juga
EDISI KHUSUS: Hercules dan Premanisme
Hercules, dari Dili ke Tanah Abang
Kantor Tempo Diserang
Hercules, dari Dili ke Tanah Abang
Rizal Mallarangeng Ogah Vilanya Dibongkar
Vila Liar, Rizal Tak Gentar Dipenjara 10 Tahun