TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dokter Hasbullah Thabrany, mengatakan program Kartu Jakarta Sehat juga memiliki fungsi untuk menghilangkan praktek dokter “nakal”, yaitu dokter yang hanya mencari untung dari sakitnya seseorang.
Dia mencontohkan pemberian obat antibiotik ke pasien. Ada obat generik yang harganya hanya Rp 7.000, tapi ada dokter memberi antibiotik yang harganya Rp 70 ribu. Padahal, fungsinya sama saja. “Hal ini terjadi karena tidak sedikit dokter yang terikat kontrak dengan perusahaan farmasi tertentu,” kata Hasbullah dalam diskusi di Tempo, Senin, 10 Juni 2013.
Menurut dia, dalam kasus seperti ini dokter lebih memilih obat buatan pabrikan yang sudah diteken kerjasamanya dibandingkan menggunakan obat generik.
Dia juga menyoroti praktek kunjungan pasien di rumah sakit. Setiap kali kunjungan, dokter tersebut akan dibayar sesuai kelas si pasien di rawat. Tak heran banyak dokter rajin visit ke kamar pasien.
Dalam program KJS, yang mengadopsi sistem Indonesia Case Based Group, perilaku dokter “nakal” itu tidak akan memperoleh tempat. Sebab, kata dia, rumah sakit dibayar per paket kasus diagnosis. "Dengan seperti ini dokter tidak bisa main-main dalam resep dan tindakan," kata Hasbullah.
Dia memberi contoh untuk sakit tipus. Dalam INA-CBG, penyakit ini mendapat jatah Rp 4 juta sampai pasien sembuh. Dengan alokasi tersebut dokter wajib menyembuhkan pasien. “Obat-obat yang dibutuhkan pun sudah ditetapkan sehingga tidak bisa melebihi pagu yang ditetapkan dalam INA-CBG,” katanya.
SYAILENDRA