TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa Jakarta, jika dibandingkan dengan ibu kota negara lain, merupakan kota dengan tingkat kemacetan lalu lintas terparah. "Lha, emang iya, kan?" ujarnya di Balai Kota, Rabu, 4 Februari 2014. "Macet ini masalah sumber stres saya paling besar, untung tensi saya masih bagus, kalau enggak bisa stroke."
Hari ini sejumlah media massa internasional merilis hasil penelitian lalu lintas yang dilakukan oleh produsen oli, Castrol. Menurut indeks Stop-Start Magnatec Castrol, rata-rata terdapat 33.240 kali proses berhenti-jalan per tahun di Jakarta. Jika dibandingkan dengan kota lain, indeks stop-start di Jakarta menempati urutan pertama.
Indeks ini mengacu pada data navigasi pengguna Tom Tom, mesin GPS, untuk menghitung jumlah berhenti dan jalan yang dibuat setiap kilometer. Jumlah tersebut lalu dikalikan dengan jarak rata-rata yang ditempuh setiap tahun di 78 negara.
Menanggapi penelitian itu, Ahok menyebutkan Jakarta wajar menjadi kota dengan kemacetan lalu lintas terparah. "Soalnya, sistem transportasi berbasis rel di sini masih kurang," ujarnya. "Tokyo di Jepang saja yang setiap kotanya punya transportasi bagus masih macet parah kok, apalagi Jakarta," ujarnya.
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta, Aditya Dwi Laksana, menganggap wajar Jakarta dinilai sebagai kota termacet sedunia. Aditya sependapat tingkat kemacetan di Ibu Kota tergolong sangat parah.
“Karena penggunaan angkutan di Jakarta mengalami penurunan,” katanya saat dihubungi, Rabu, 4 Februari 2015.
Pernyataan Aditya menanggapi survei yang dilakukan Castrol’s Magnatec Stop Start, yang mengindikasikan Jakarta sebagai kota termacet sedunia. Tercatat rata-rata kendaraan di Jakarta melakukan 33 ribu kali proses berhenti dan jalan per tahun. Sedangkan Kota Tampere di Finlandia tercatat sebagai kota dengan lalu lintas paling lancar di dunia.
Aditya mengatakan, pada 2014, rata-rata penggunaan moda transportasi publik di Jakarta cuma 15 persen. Jumlah itu turun dari tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 18 persen.
Menurut dia, penyebabnya adalah kualitas pelayanan transportasi publik belum memuaskan. Itu sebabnya, masyarakat kembali menggunakan kendaraan pribadi. Aditya meminta pemerintah membenahi kualitas pelayanan angkutan umum, seperti Transjakarta dan kereta komuter.
DIMAS SIREGAR