TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis lingkungan menilai tidak seimbangnya ekosistem di Jakarta dan daerah sekitarnya menyulut terjadinya banjir. "Sebelumnya, Ibu Kota banjir 5 tahun sekali. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banjir selalu datang setiap tahun," ujar Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Teguh Triono dalam siaran pers, Kamis, 12 Februari 2015.
Menurut dia, keanekaragaman hayati, dalam hal ini ekosistem, memiliki peran penting dalam menunjang keberadaan sebuah kota. Ekosistem menjamin ketersediaan pangan, regulasi air dan oksigen, perlindungan terhadap bencana alam, juga memberi fungsi rekreasi. "Perkembangan kota yang tidak tertata akan merusak komponen tersebut, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif," kata Teguh.
Penilaiannya mengacu pada minimnya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Mengutip Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, Teguh menyebutkan setiap kota harus menyediakan 30 persen dari total luas kota untuk ruang terbuka hijau. Keberadaan lahan terbuka dengan pohon diyakini manjur mencegah banjir.
Kajian dari Education in Nature menunjukkan rata-rata satu pohon dapat menyerap dan menyimpan 4.000 liter air setiap tahun. Bahkan pohon dengan tinggi 30 meter dan jumlah daun sekitar 200 ribu helai mampu menyerap hingga 44 ribu liter air per tahun. "Tapi saat ini luasan RTH di Jakarta hanya sekitar 10 persen, sehingga daya serap dan daya tampung air ekosistem di perkotaan tidak memadai."
Teguh meminta pemerintah tidak hanya berfokus pada infrastruktur dalam upaya penanganan banjir, seperti membangun sodetan Kali Ciliwung. "Harus dibarengi dengan perbaikan ekosistem di Jakarta dan daerah-daerah penunjang di sekitarnya," ujarnya. Perbaikan daerah aliran sungai, menambah ruang terbuka hijau, serta koordinasi dengan pemerintah Kota Depok dan Bogor untuk memperbaiki kawasan hulu sungai harus juga menjadi prioritas.
Teguh mengatakan pemerintah DKI Jakarta bisa mencontoh Kabupaten Bojonegoro yang memiliki program paving block. Bekerja sama dengan seluruh warganya, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mengganti aspal jalan yang sering rusak karena banjir dengan paving block. Hasilnya, air bisa lebih terserap dan jalan relatif tidak mudah rusak. Inspirasi lain datang dari Pemerintah Kota Surabaya, yang memanfaatkan sungai sebagai bagian taman kota. Pemerintah Surabaya memagari pinggir sungai sehingga tidak ada ruang bagi warga yang hendak membuang sampah ke sungai.
Basuki Rahmad, petugas Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yayasan Kehati, mengatakan konservasi bambu di sepanjang daerah aliran Sungai Ciliwung bisa menjadi alternatif cara mencegah banjir dalam jangka panjang. "Jika pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan larangan penggunaan styrofoam di restoran dan menggantinya dengan boks makanan dari bambu, warga sekitar Ciliwung akan bergairah menanam bambu. Sementara masyarakat mendapat penghasilan tambahan, daerah aliran sungai terlindungi," ujarnya.
REZA MAULANA