TEMPO.CO , Jakarta: Indonesian Corruption Watch menilai Komisi Pemberantasan Korupsi bertindak lamban dalam menyikapi laporan aduan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ihwal anggaran siluman.
"KPK lamban! Hingga saat ini belum ada 'menu' yang kira-kira akan diambil oleh KPK. Terkesan kalah cepat dibandingkan polisi yang langsung mengambil menu UPS dan melakukan penyidikan ke Alex Usman," kata Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW kepada Tempo, Selasa 15 Maret 2015.
Firdaus mengatakan kasus dugaan korupsi yang terjadi di DKI Jakarta mulai dari 2012 hingga 2014 layak mendapatkan prioritas. Alasannnya, pertama, nilai kerugian negara yang besar. Kedua, menyangkut pelayanan publik. Dan ketiga, memiliki jaringan yang besar. "Ini bukan hanya kasus pengadaan barang dan jasa yang biasa," kata dia.
Magnitude kasus yang besar, Firdaus melanjutkan, seharusnya menjadi pertimbangan KPK untuk memprioritaskan kasus ini di samping kasus-kasus lama. "Jejaringnya sangat luar biasa di level birokrat. Ini politik anggaran yang hanya lembaga sebesar KPK yang bisa mengusut," kata dia. Dia bahkan menduga jangan-jangan ada pelemahan internal di kalangan penyidik KPK.
Firdaus berpendapat, kelambanan KPK dalam menyikapi laporan Gubernur Ahok soal anggaran siluman ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, konflik kepemimpinan yang masih berimbas pada jalannya kelembagaan. "Konsolidasi antarpenyidik yang belum pulih betul pascakonflik kepemimpinan bisa saja jadi penghambat laju KPK," kata dia.
Kedua, KPK hanya fokus pada kasus-kasus lama. Ketiga, adanya serangan bertubi-tubi yang berniat ingin melemahkan kelembagaan KPK seperti KPK hanya diminta fokus pada pencegahan.
"Bisa-bisa empat sampai lima tahun lagi permainan anggaran ini diusut, sementara saat ini sampai empat atau lima tahun itu permainan terus saja berjalan," Firdaus berujar.
Gubernur Ahok melaporkan dugaan anggaran siluman itu ke KPK pada Jumat 27 Februari 2015. Ahok membawa dokumen yang merupakan print out perbedaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang disetujui paripurna DPRD dengan anggaran versi Ahok melalui e-budgeting. "Selisihnya cukup banyak, sekitar Rp 12 triliun," ujar Ahok, 27 Februari 2015.
Ahok juga menjelaskan selama 2014, ada dana sekitar Rp 4,3 triliun yang tidak dieksekusi untuk pengadaan uninterruptible power supply (UPS). "Kami kecolongan di 55 sekolah. Kepala sekolah pun kaget karena tidak pernah memesan UPS," ujarnya.
Ahok mengaku sangsi dengan anggaran pengadaan UPS yang mencapai Rp 6 miliar per unit itu. Oleh karena itu, ia menyerahkan perkara tersebut kepada KPK untuk diselidiki lebih lanjut.
Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, Johan Budi menyatakan akan melakukan verifikasi data. KPK juga akan menggali info lebih mendalam di lapangan. "Belum dapat kami simpulkan apakah ada indikasi tindak pidana korupsi atau tidak," ujarnya, 27 Februari 2015.
DINI PRAMITA | DEWI SUCI