TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan membantah kabar bahwa mereka meminta laporan uang makan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan mengatakan pihaknya hanya mengaudit belanja operasional Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut dia, BPK ingin memastikan semua pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan. Misalnya ada bukti penggunaan belanja operasional. ”Kami tidak memeriksa lauk-pauk seperti yang diberitakan,” kata Yudi di kantornya, Pejompongan, Jakarta, Rabu, 8 Juli 2015.
Yudi beralasan, satu rupiah uang negara yang dikeluarkan pemerintah harus dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya BPK begitu detail dalam mengaudit belanja operasional. “Semua yang keluar harus ada bukti pertanggungjawabannya,” ucap Yudi.
Konflik antara Ahok dan BPK ini bermula ketika BPK mengungkap 70 temuan dalam laporan keuangan DKI yang disampaikan dalam rapat paripurna DPRD, Senin, 6 Juli 2015.
Temuan itu bernilai Rp 2,16 triliun dan terdiri atas program yang terindikasi menimbulkan kerugian daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah Rp 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan daerah Rp 3,23 miliar, belanja administrasi Rp 469 juta, dan pemborosan Rp 3,04 miliar.
Ahok menganggap BPK sengaja mengincarnya dengan mencari-cari kesalahan dalam proyek yang diperintahkan kepala daerah. Dia lantas ingat bahwa BPK juga pernah mengincarnya saat dia menjadi Bupati Belitung Timur pada 2005.
Saat itu, Ahok bercerita, lembaga audit anggaran tersebut memerintahkannya melaporkan detail penggunaan anggaran makan. “Masak, istri saya diminta mencatat dan melaporkan dia beli cabai, sayur, dan beras secara detail?” kata Ahok, Selasa, 7 Juli 2015.
Kewajiban melaporkan anggaran belanja makan, kata Ahok, membuatnya enggan mengambil jatah anggaran makan kepala daerah. “Gila ini. Sungguh gila."
SINGGIH SOARES