TEMPO.CO, Bekasi - Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Bekasi Agus Setiawan mengakui sudah banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada buruhnya akibat melemahnya nilai rupiah. "Rata-rata perusahaan yang pasarnya dalam negeri," kata Agus kepada Tempo, Jumat, 28 Agustus 2015.
Menurut dia, perusahaan itu kesulitan menjual produknya. Sementara, biaya produksi mulai dari pembelian bahan baku cukup mahal karena diimpor yang menggunakan nilai dolar. "Belinya mahal, jualannya seret," kata dia. Solusi untuk menekan kerugian perusahaan ialah dengan mengurangi karyawannya. “Itu pun yang statusnya masih kontrak,” ujar Agus.
Menurut dia, pemutusan hubungan kerja itu bersamaan dengan habisnya kontrak buruh tersebut. Sehingga, tak ada perpanjangan kontrak. Adapun, perusahaan yang merumahkan karyawannya akibat lemahnya rupiah, pihaknya belum mendapatkan informasi. "Kalau merumahkan karyawan belum ada," kata Agus.
Ia mengatakan, mayoritas perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja bergerak di bidang industri otomotif sebanyak 30 persen dan elektronik 30 persen. Sebab, hasil produksinya dijual di dalam negeri. "Kalau pasarnya ekspor masih aman. Tak ada pemutusan hubungan kerja," kata dia.
Sejauh ini, kata dia, pihaknya belum mendapatkan jumlah detail buruh yang di-PHK perusahaan. Soalnya, kata dia, perusahaan tak ada yang melaporkan secara resmi kepada asosiasinya. "Sulit mendeteksinya," kata dia. "Apalagi dari seluruh perusahaan di Kabupaten Bekasi, yang masuk asosiasi hanya sekitar 300-an," kata dia.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kabupaten Bekasi Obon Tabroni mengatakan, pihaknya memaklumi pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan kepada buruhnya akibat melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pihaknya hanya menuntut agar hak-hak buruh yang terkena PHK dipenuhi oleh perusahaan. "Kami meminta kepada pemerintah untuk memulihkan perekonomian. Karena yang paling merasakan dampaknya adalah buruh," katanya.
ADI WARSONO