TEMPO.CO , Jakarta: Iwan Pangka mempertanyakan motif pejabat penegak hukum yang tidak menahan seniman Sitok Srengenge meskipun kasus pencabulannya sudah berjalan dua tahun.
"Semua bukti sudah kami beri tapi pihak kejaksaan dan kepolisian tidak memberi kepastian hukum,” ujar Iwan dalam konferensi pers yang didampingi BEM Fakultas Psikologi UI, BEM Fakultas Hukum UI, dan BEM Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI.
RW yang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UI merupakan korban pencabulan Sitok. Iwan, pengacara RW menjelaskan pihak kejaksaan meminta bukti secara berangsur dan tidak sekaligus sehingga proses hukum untuk Sitok terkesan alot.
Mewakili kliennya, Iwan berkata, “Pihak RW sudah sangat kooperatif, semua bukti sudah diberi. Hanya saja pihak kepolisian dan kejaksaan kerap meminta bukti yang tidak substantif, seperti kwitansi kelahiran anak RW dan surat keterangan dokter.”
Kasus ini mencuat sejak 2013 dan hingga kini proses hukumnya masih terus berjalan. RW yang saat itu mahasiswi UI melaporkan Sitok Srengenge pada 29 November 2013. Pada 6 Oktober 2014 Sitok dinyatakan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 285 KUHP tentang persetubuhan di luar nikah, Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan di luar nikah dengan orang yang tidak berdaya, dan Pasal 294 ayat 2 ke-2 KUHP tentang pencabulan dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
Pada 17 April 2015, kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Lalu pada 20 Agustus 2015, penyidik melimpahkan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi ke Kejaksaan Agung. Akan tetapi berkas yang telah dilimpahkan tersebut masih dianggap tidak lengkap sehingga untuk kedua kalinya dikembalikan lagi kepada penyidik agar dilengkapi kembali.
Berdasarkan pasal Pasal 14 juncto Pasal 138 ayat 2 KUHAP, prosedur ini tidak memiliki batas waktu serta batasan berapa kali maksimal dapat dilakukan. Hal ini berakibat pada makin lamanya ketidakpastian hukum yang harus dirasakan oleh korban dalam upayanya mencari keadilan.
BAGUS PRASETIYO