TEMPO.CO, Depok - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat tantangan pengungkapan dan perlindungan anak dari kasus kejahatan seksual memang tak mudah. Dihubungi Tempo, Jumat, 23 Oktober 2015, Wakil Kepala KPAI Susanto menyebutkan, setidaknya delapan kesulitan dalam mengungkap kejahatan seksual pada anak.
Satu
Sebagian keluarga korban tak melaporkan kasusnya karena malu. Bahkan, masih banyak pihak keluarga justru menutup-nutupi kasusnya, yang dianggap cara terbaik.
Dua
Sebagian keluarga korban tidak melaporkan karena tidak tahu harus ke mana.
Tiga
Sebagian tak melaporkan karena tak ada layanan hukum atau layanan perlindungan anak di lokasi terdekat.
Empat
Sebagian keluarga korban enggan melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian karena ada kendala geografis. Misalnya, korban di pelosok desa, atau di pedalaman, jauh dari layanan layanan unit PPA polsek atau polres. "Ini bisa menjadi kendala kasus tak terungkap dan tak tertangani," kata Susanto.
Lima
Sebagian keluarga korban melaporkan, tapi sering kali diminta saksi fakta, padahal kasus kejahatan seksual jarang ada saksi fakta. Hal inilah yang menyebabkan korban sering kali kurang mendapatkan keadilan.
Enam
Kasus kejahatan seksual, ada yang berhenti karena beberapa pihak menghendaki mediasi, padahal mediasi bukan solusi keadilan, justru akan melemahkan korban dan mempermisifkan perilaku kejahatan seksual.
Tujuh
Pelaku kejahatan seksual, sering kali mendapat hukuman ringan, karena alat buktinya lemah, padahal korbannya ada dan membutuhkan keadilan.
Delapan
Korban kejahatan seksual, sering kali tak mendapatkan rehabilitasi secara tuntas, akibatnya menimbulkan dampak psikis dalam waktu yang cukup lama. Di pihak lain, sering kali pelaku hanya mendapatkan pidana penjara, padahal pelaku juga perlu direhabilitasi. "Akibatnya mengulangi perbuatannya," ujarnya.
IMAM HAMDI