TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan Ibu Kota masih akan bergantung pada Bantargebang sebagai tempat pembuangan akhir. Penyebabnya, pelaksanaan tempat pengolahan sampah terpadu dalam kota atau intermediate treatment facilities (ITF) belum akan terwujud dalam waktu dekat.
Pembangunan fisik infrastruktur pengelolaan sampah itu baru dimulai akhir 2016 dan membutuhkan waktu dua tahun. “Itu pun baru dokumen lelang ITF yang berlokasi di Sunter, Jakarta Utara, yang sudah selesai,” ucap Isnawa di Balai Kota, Senin, 26 Oktober 2015.
Tempat pengolahan sampah terpadu dalam kota adalah tempat pengolahan sampah dengan cara membakar di ruangan berinstalasi khusus yang disebut insinerator. Sistem dalam instalasi itu mencegah asap hasil pembakaran ke luar ruangan.
Isnawa berujar, residu pembakaran berupa abu akan dimanfaatkan menjadi asbes atau batu bata. Jepang dan Cina merupakan dua contoh negara yang sudah menerapkan sistem serupa.
Isnawa menuturkan ada tiga titik lain yang juga direncanakan sebagai lokasi pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu dalam kota. Ketiganya masing-masing terletak di Duri Kosambi, Jakarta Barat; Cakung-Cilincing, perbatasan Jakarta Timur dengan Jakarta Utara; dan Marunda, Jakarta Utara. Untuk mempersingkat proses lelang, Pemerintah Provinsi DKI menyerahkan pembangunan tiga tempat pengolahan sampah terpadu dalam kota lain ke PT Jakarta Propertindo.
Keberadaan tempat pengolahan sampah terpadu dalam kota, menurut Isnawa, akan mengurangi bobot sampah harian yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi.
Dalam satu hari, Jakarta mengirim 6.500 ton sampah ke Bantargebang. Pada kurun yang sama, satu insinerator mampu memusnahkan 1.000-1.500 ton sampah dengan suhu 1.200 derajat Celcius. Biaya investasi satu unit tempat pengolahan sampah terpadu mencapai Rp 1,5 triliun.
LINDA HAIRANI