TEMPO.CO, Jakarta - Ibrahim Blegur mendatangi kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk mencari tahu penyebab anaknya meninggal. "Anak saya hilang tanpa saya tahu sebabnya," katanya di kantor KPAI, Menteng, pada Jumat, 6 November 2015.
Dengan mulut bergetar, Ibrahim menceritakan kronologi kepergian anaknya yang bernama Falya Raafani Blegur. "Pada Rabu, 28 Oktober 2015, Falya dibawa ke Rumah Sakit Awal Bros Bekasi karena muntah-muntah," katanya. Badannya lemas. Menurut dokter Yenny yang memeriksa, anaknya terkena dehidrasi ringan.
Anak perempuan berusia satu tahun dua bulan itu pun dirawat dan ditemani ibunya. Hingga siang hari pada Kamis, 29 Oktober 2015, kondisi Falya terlihat bagus. "Makannya sudah banyak dan bisa loncat-loncat sama kakaknya," kata Ibrahi.
Pada pukul 13.00, perawat datang dan mengatakan kepada ibu Falya bahwa ia akan memberikan antibiotik kepada Falya. "Istri saya tidak melarang karena menganggap pemberian antibiotik sudah ditentukan oleh dokter," kata Ibrahim. Lalu dipasanglah labu antibiotik menggantikan infus untuk Falya.
Sekitar satu jam setelah pemberian antibiotik, Falya terlihat lemas dan terus berucap, "mamam, mamam," kata Ibrahim menirukan keterangan istrinya. Pada 15.00, perut Falya membesar, wajahnya membengkak, dan muncul bercak merah di tangannya. "Bibir Falya membiru," kata Ibrahim.
Pada 15.30, saat Ibrahim datang ke rumah sakit, belum ada petugas yang datang menangani Falya. Ia kemudian memencet tombol emergency, namun hasilnya nihil. Ia menemui dokter jaga dan meminta agar anaknya diperiksa. "Dokternya memeriksa dengan stetoskop lalu keluar ruangan tanpa menjelaskan anak saya kenapa," katanya.
Ibrahim mengira kepergian dokter untuk mengambil alat penanganan Falya. Namun hingga 30 menit tidak ada yang kembali. Ibrahim pun meradang. Ia memukul meja meminta dokter menangani anaknya. "Saya marah-marah, baru mereka periksa anak saya," katanya.
Dokter jaga kembali memeriksa dan dibantu perawat Falya diberikan bantuan oksigen. Perawat lain kemudian datang hendak memberikan penurun panas, namun ditolak orang tua. "Dokter Yenny kemudian datang pukul 17.30 dan memindahkan anak kami ke ICU" kata Ibrahim.
Pada pukul 21.00, Falya dijenguk oleh saudaranya yang berprofesi sebagai dokter. "Dia bilang anak saya sudah gagal napas," kata Ibrahim. Namun tak ada tindakan dari pihak rumah sakit.
Keesokan hari, ibu Falya menanyakan keadaan anaknya. "Tenang aja bu, ini bukan karena antibiotik. Saya pernah menangani yang lebih parah dari ini," kata Ibrahim menirukan ucapan dokternya.
Pada Minggu, 1 November 2015, Falya meninggal di rumah sakit pukul 06.30 pagi. Hingga Kamis, 5 November 2015, belum ada penjelasan resmi dari pihak rumah sakit. "Saya terus bertanya sejak Falya masuk ICU tapi tak pernah ada jawaban," katanya.
Oleh sebab itu, ia meminta bantuan kepada KPAI agar mereka bisa mendapat jawaban dari kematian anaknya. "Saya ingin tahu kenapa anak saya hilang," katanya.
VINDRY FLORENTIN