TEMPO.CO, Jakarta -Operasi Zebra tak efektif. Begitulah judul berita di halaman Metro Koran Tempo edisi hari ini, 9 November 2015. Berita tersebut menyoroti hasil Operasi Zebra yang digelar Kepolisian Daerah Metro Jakarta selama 22 Oktober hingga 4 November 2015.
Berita tersebut membandingkan hasil Operasi Zebra tahun ini dengan dua tahun sebelumnya. Hasil Operasi tahun ini adalah banyak pengemudi yang ditangkap karena melanggar kaidah lalu lintas.
Kepala Bagian Operasional Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Sutimin mengatakan jumlah pelanggaran lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Pelanggar terbanyak adalah pengemudi sepeda motor dan angkutan umum.
Polisi, misalnya, menemukan beberapa pelanggar merupakan usia anak sekolah yang rata-rata masih anak baru gede (ABG). Mereka memiliki emosi labil saat berkendara dan berpotensi membahayakan pengguna jalan lain. Bahkan, ada pula anak sekolah yang menjadi “sopir tembak” Metromini. "Ini perlu kesadaran pengelola dan pengemudi,” kata dia.
Melawan arus, menerobos lampu merah, dan menaik-turunkan penumpang sembarang tempat merupakan jenis pelanggaran terbanyak yang ditemukan selama dua pekan Operasi Zebra 2015. “Operasi Zebra cukup signifikan menekan pelanggaran tematik seperti itu, juga angka kecelakaan. Akan kami pertahankan, ditambah dengan operasi lainnya," kata Sutimin saat dihubungi pada Sabtu lalu.
Tercatat 100 kecelakaan di Jakarta selama operasi berlangsung. Angka ini menurun dibanding pada tahun lalu, yakni 112 kecelakaan. Namun, dalam operasi yang digelar pada 22 Oktober-4 November itu, polisi menilang 103.633 pengemudi atau meningkat ketimbang tahun lalu, yaitu 70.559 pengemudi. Pada 2013, jumlahnya lebih kecil lagi, hanya 64.331.
Polda Metro Jaya mencatat 24.024 pengemudi sepeda motor berkendara melawan arus dan 11.119 pengemudi mobil berhenti atau parkir di sembarang tempat. Selain itu, polisi menilang 16.568 angkutan umum yang menaik-turunkan penumpang bukan di halte.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai kejenuhan masyarakat akibat kemacetan di Ibu Kota memicu orang melanggar lalu lintas. Operasi yang dilakukan polisi tak membuat efek jera bagi pengendara. "Mereka kesal dengan kemacetan kota akibat buruknya layanan transportasi umum," kata Djoko.
Karena kualitas pelayanan angkutan umum tak meningkat dan mencukupi kebutuhan perjalanan, masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi. Di sisi lain, kebijakan kendaraan pribadi bergerak bebas menuruti keinginan pasar.
Saat jalanan membeludak, masyarakat tak lagi peduli pada rambu-rambu lalu lintas. "Pemerintah harus membatasi keberpihakan kepada kendaraan pribadi. Jika tidak, masalah ini juga merambat ke kota kecil," kata dia.
PUTRI ADITYOWATI