TEMPO.CO, Jakarta - Ada saja cara orang menjalankan kejahatan. Tender-tender lelang online yang kini menjadi kewajiban lembaga pemerintah demi akuntabilitas dan terhindar dari korupsi menjadi celah para penipu mengelabui korbannya.
Modus memakai situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik di lembaga pemerintah terungkap setelah Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Jakarta menangkap 16 penipu dan merilisnya pada Kamis, 12 November 2015.
Komplotan ini berpura-pura menjadi pejabat saat menipu lewat telepon para pemenang tender. “Kasus dengan modus penipuan seperti ini besar jumlahnya,” kata Wakil Direktorat Reserse Kriminal Umum Ajun Komisaris Besar Ferdy Sambo.
Para pelaku memanfaatkan situs LPSE untuk mencari informasi tentang pemenang lelang. "Lewat data ini, mereka mencari nama pemenang tender, lalu mencari nomor telepon mereka dengan menghubungi layanan telepon 108," ujar Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Ajun Komisaris Besar Herry Heryawan.
Setelah mendapat nomor pemenang lelang, mereka menghubungi nomor tersebut dengan berpura-pura sebagai pejabat yang berwenang soal tender, lalu meminta uang jika proyeknya ingin mulus. "Kadang ada yang berpura-pura menjadi kapolres, bupati, kadis PU," Herry menjelaskan.
Para pelaku ditangkap pada 9 November lalu di Cipanas dan Jakarta. Mereka, menurut Herry, adalah sindikat penipu asal Sulawesi Selatan. Selama tiga tahun, mereka telah menipu beberapa pejabat, di antaranya pejabat setingkat bupati, pejabat Jasa Marga, dan pejabat PT Angkasa Pura.
Adapun alasan yang digunakan untuk menipu adalah:
1. Sebagai kepala polres, mereka meminta bantuan untuk tamu Polda.
2. Sebagai bupati, mereka meminta bantuan untuk biaya tambahan.
3. Sebagai kepala kejaksaan tiinggi/kejaksaan negeri, mereka meminta dana untuk mempercepat proses menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
4. Sebagai kepala dinas pekerjaan umum, mereka meminta success fee untuk proyek yang akan dikerjakan.
Komplotan ini membagi tugas mereka menjadi beberapa bagian. "Ada yang membuat ATM dan rekeningnya, ada pula yang bertugas menipu dan mencari data," ujat Herry. Hasil dari penipuan ini biasanya 70 persen diberikan kepada pelaku yang bertugas sebagai pencari data dan melakukan penipuan. Data yang digunakan untuk membuat rekening ini pun palsu.
Menurut Ferdy, kerugian akibat penipuan ini mencapai puluhan miliar rupiah. "Kejahatan seperti ini lebih meresahkan dibanding street crime," kata Ferdy.
Para pelaku akan dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
EGI ADYATAMA