TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Fahmi Zulfikar, Sunan Kalijaga, menceritakan reaksi kliennya setelah diberitakan bahwa ia dinyatakan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) di beberapa sekolah Jakarta.
"Dia meneteskan air mata bahwa saya (Fahmi) tidak pernah menerima apapun, sepeserpun, terkait dgn kasus UPS," kata Sunan Kalijaga di Bareskrim Mabes Polri, Selasa, 17 November 2015.
Selain Sunan, Fahmi juga menceritakan hal serupa pada pengacara Ilal Ferhard. Dari dakwaan Alex Usman, Ilal menangkap ada beberapa titik pertemuan yang dilakukan oleh Fahmi dan beberapa pihak yang terkait dalam pengadaan UPS tersebut. "Padahal itu tidak dilakukan klien kami. Apalagi meminta bagian tujuh persen (dari anggaran), orang ketemu aja tidak," kata Ilal.
Dalam perencanaan pengadaan UPS ini, Ilal menjelaskan bahwa setiap anggota mempunyai hak untuk menyampaikan pokok pikiran (pokkir). Pokkir itu sendiri memiliki batasan anggaran yang diberikan oleh ketua dewan atau pimpinan. "Waktu saya di DPRD, per Dewan diberikan Pokir batas maksimal 20 miliar. Itu Pokkir hak kami sebagai anggota Dewan," kata Ilal.
Menurutnya, ada tiga hak yang dimiliki oleh anggota Dewan, yakni, hak legislasi, hak budgeting, dan hak monitoring. Dalam kasus ini, Fahmi menggunakan hak budgetingnya. "Kami dapat hak budgeting 20 miliar per orang sebagai Pokkir. Tapi ini nggak lucu masa klien kami dikatakan dapat Pokkir Rp 300 miliar," kata Ilal.
Masing-masing anggota Dewan mempunyai pokok pikiran. Namun, menurut Ilal, persetujuan tetap berada di tangan ekesekutif. Artinya pokok pikiran anggota dewan bukan hanya UPS, tapi masih banyak usulan lainnya. Itu hak kami (sebagai anggota Dewan), hak budgeting ya boleh. Tapi disetujui atau tidak disetujui itu tergantung dari anggaran ada apa tidak," kata Ilal.
Ilal mengakui bahwa benar kalau kliennya pernah mengajukan anggaran UPS ke DPRD. Namun, menurutnya itu adalah hal yang wajar karena itu adalah sebagian dari hak budgeting anggots dewan. "Yang dipermasalahkan adalah adanya tindakan korupsi tujuh persen dari itu, dari mana kok bsa menyalahkan klien kami?" kata Ilal.
Ilal menuturkan bahwa Alex Usman berperan sebagai eksekutif dan bertemu dengan legislatif. Dalam pertemuan itu, Alex menemui komisi terkait, yaitu Komisi E. Waktu itu, Fahmi sebagai anggota Komisi E yang diketuai oleh M. Firmansyah.
"Nah sejauh Pokkir itu disetujui dan dipakai eksekutif, itu hak eksekutif yang memakai anggaran tersebut bukan anggota Dewan," kata Ilal.
Menurut Ilal, seharusnya penyidik mengarahkan pemeriksaan kepada pimpinan terlebih dahulu sebagai pengambil kebijakan. "Masalah tujuh persen atau persen persenan bukan ada di anggota. Itu ada di pimpinan entah komisi atau pimpinan dewan. itu semua yang tahu di situ, kalau anggota Dewan nggak tahulah. Masa sampai masalah persen persen diurusin," kata Ilal.
Dua anggota DPRD DKI Jakarta, Fahmi Zulfikar dan M. Firmansyah, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan UPS. Penetapan tersangka dilakukan pada Rabu lalu, 11 November 2015.
Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim telah memeriksa sebanyak enam saksi untuk mengusut tersangka baru selain Alex Usman dan Zaenal Soleman dalam dugaan korupsi pengadaan UPS. Enam saksi yang dielriksa di antaranya berinisial S, MG, FS, DR, E, L anggota DPRD 2009-2014.
Kasus korupsi UPS ini terbongkar sejak ditemukannya penggelembungan harga UPS sebesar Rp 5,8 miliar per unit dalam APBD 2014. Menurut informasi, harga satu UPS dengan kapasitas 40 kilovolt ampere hanya sekitar Rp 100 juta.
Fahmi Zulfikat dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Pasal itu mengatur tentang perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, korporasi, atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta penyalahgunaan jabatan.
LARISSA HUDA