TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melayangkan surat peringatan pertama kepada PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia, pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Surat itu sebagai bentuk keseriusan pemerintah mau memutus kontrak dengan pengelola sampah Jakarta. "Mereka mengaku ke kami sudah tidak mampu mengelola," kata Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Ali Maulana Hakim, Senin, 16 Oktober 2015, di kantornya, Cililitan, Jakarta Timur.
Apakah pemerintah akan memutus kontrak pengelola sampah di Bantargebang?
Kalau tidak ada komitmen dari pengelola untuk memperbaiki semuanya, kami putus kontrak mereka.
Sampai kapan pemerintah memberi waktu ke mereka untuk memperbaikinya?
Kami sudah melayangkan surat peringatan pertama pada September lalu. Jika sampai surat peringatan ketiga mereka tidak berkomitmen memperbaiki cara pengelolaannya, kami putus tahun depan.
Siapa yang akan mengelola sampah di sana kalau kontrak diputus?
Kami akan kelola sampah di Bantargebang secara mandiri. Kami rekrut pegawai, beli alat berat, dan lain-lain.
Pemerintah akan mengelola sampah secara mandiri, tapi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2016 masih ada dana pengelolaan untuk pihak ketiga?
Kami memang menganggarkan tipping fee, karena proses pemutusan kontraknya masih berjalan. Sekarang kami beri surat peringatan pertama. Karena belum ada kepastian, kami masih punya kewajiban membayar tipping fee.
Ada empat kali addendum perjanjian. Ini perjanjian siapa dengan siapa?
Pemerintah Jakarta dengan pengelola.
Bagaimana dengan pemerintah Bekasi?
Itu lain lagi. Kalau dengan pemerintah Bekasi, ada namanya perjanjian kerja sama seperti dengan daerah penyangga Ibu Kota lain. Terakhir ditandatangani 2013. Tidak ada hubungannya dengan Bantargebang.
Bukankah Bekasi mendapat 20 persen dari tipping fee?
Pemerintah Bekasi memang mendapat dana community development sebesar 20 persen dari total tipping fee. Uang kompensasi buat Bekasi ini diatur dalam perjanjian kerja sama antara Jakarta dan pengelola. Karena kami berniat memutus kontrak perjanjian dengan pengelola, jadi harus diatur dana itu. Caranya, menambah klausul perjanjian antara pemerintah Jakarta dan Bekasi. Ini yang akan kami omongkan dengan pemerintah Bekasi.
Mekanisme pemberian dana community development untuk Bekasi selama ini bagaimana?
Kami memberi dana tipping fee ke pengelola. Lalu pengelola memberikan sebesar 20 persen dari total tipping fee ke Bekasi.
Sudah ada kesepakatan antara pemerintah Jakarta dan Bekasi soal community development?
Sudah. Kalau putus kontrak, dana tersebut langsung dikasih ke pihak ketiga tanpa melalui pengelola lagi. Kami sudah anggarkan Rp 70 miliar buat Bekasi. Cuma, kalau belum putus kontrak, mereka masih menerima dari pengelola. Kalau putus, langsung dari kami.
Ini yang diinginkan Bekasi dan DPRD memprotesnya?
Iya, memang ada yang salah dalam perjanjian dengan pengelola. Kenapa dana community development dikasih dari pengelola. Langsung saja ke Pemkot Bekasi.
Kesepakatan jam operasional ada di perjanjian antara pemerintah Jakarta dan Bekasi?
Jam operasional enggak disebut di perjanjian dengan Bekasi. Awalnya mungkin sempat disebutkan. Cuma di perjanjian enggak disebut rinci. Enggak dipastikan jam sekian harus jalan mana. Itu enggak diatur.
Soal truk yang dihadang ormas?
Yang hadang itu bukan pemerintah, tapi ormas. Makanya harus diselidiki siapa di balik itu.
Katanya Godang Tua di balik penghadangan itu?
Saya enggak tahu.
Kenapa pemerintah tak kunjung membangun intermediate treatment facilities (ITF)?
Saya juga enggak ngerti kenapa, karena itu warisan Kepala Dinas sebelumnya. Saya kira cuma eksekusi doang. Makanya kami akan segera eksekusi.
Kapan empat ITF akan dibangun?
Untuk Sunter, lelangnya akan kami putuskan tahun ini. Apakah untuk swakelola atau dikasih ke pengelola swasta mirip Bantargebang. Sudah empat tahun belum lelang juga. Kalau di Cakung Cilincing, sudah ditangani PT Jakarta Propertindo. Sekarang dalam proses tahap lelang juga. Jadi kemungkinan tahun depan sudah jalan.
Pengelola menganggap pemerintah juga wanprestasi karena ITF tidak dibangun-bangun?
Kami enggak wanprestasi. ITF ini hanya rencana pemda DKI. Di dalam kontrak, gas metan dari sampah diolah menjadi listrik dan dijual ke Perusahaan Listrik Negara. PLN bisa beli listrik minimal 4,5 megawatt. Karena harus memenuhi itu, mereka harus mendapat kepastian pasokan sampah. Di perjanjian disebutkan minimal pemerintah Jakarta mengirim 4.500 ton per hari. Kalau di bawah, listrik yang dihasilkan kurang. Memang dalam perjanjian jumlah tonase sampah yang dikirim menurun sampai 2023--perjanjian selesai. Karena kami akan membangun ITF di empat wilayah dengan kapasitas masing-masing 1.000-1.500 ton per hari.
Pengelola juga bilang pemerintah wanprestasi karena mengirim sampah lebih, tak sesuai dengan perjanjian?
Dalam perjanjian disebutkan minimal. Misalnya tahun ini minimal 3.000 ton per hari. Kalau kami mengirim lebih dari itu, boleh? Boleh, karena itu minimal. Kelebihannya dibayar kami. Jadi tidak ada kerugian, justru mereka untung. Semakin banyak semakin untung, karena banyak gas metan yang diolah buat listrik.
Kenapa mereka tidak bisa menghasilkan listrik?
Itulah kesalahan mereka. Terutama Navigat yang tak bisa menghasilkan listrik sesuai dengan perjanjian. Secara pengelolaan, mereka gagal. Jadi yang dibilang wanprestasi mana? Kami enggak wanprestasi. Jangan kemakan opini mereka.
Kalau kontrak diputus, kemungkinan pengelola menggugat?
Kalau menggugat, silakan saja. Cuma, kalau kami teruskan, potensi kerugiannya terus akan bertambah besar. Mereka mengaku ke kami sudah tidak sanggup mengelola, kok. Alasannya banyak. Salah satunya karena Protokol Kyoto. Mereka enggak bisa jual karbon.
ERWAN HERMAWAN