TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian menilai radikalisasi terjadi ketika perekrut memiliki kemampuan tinggi mempengaruhi orang yang akan direkrut. “Perekrut itu jagoan, pinter ngomong, kharismatik seperti Abu Bakar Baasyir, pernah ikut perang di Afganistan,” ujar Tito di Jakarta pada Kamis, 26 November 2015.
Tito mengatakan calon anggota yang direkrut adalah orang yang mudah dipengaruhi. Mereka tidak kritis terhadap paham radikal. Selain itu, berpendidikan rendah sehingga mudah ditarik menjadi anggota. “Saya jelaskan, perekut yang hebat, yang direkrut lemah dan intens setiap hari bertemu, taklim,” ujar Tito.
Media masa, menurut Tito, bisa menjadi sarana perekrutan anggota kelompok radikal. Mereka bisa diyakinkan untuk masuk surga hanya ketika sudah bergabung. Lalu, kelompok radikal mengemas pesan dan paham radikal secara berkesan. Tito mengatakan ayat dan narasi yang disampaikan sesuai konteks sehingga membuat calon anggota menerima doktrin tersebut.
Tito mengatakan ada cara untuk menangkal kelompok tersebut yaitu dengan program deradikalisasi. Orang yang sudah radikal bisa dimoderatkan kembali. Bisa pakai cara lembut, ujar dia, misalnya dengan dibina. Ia menyebut Indonesia memakai cara-cara yang bukan dengan kekerasan dalam menangkal kelompok radikal. “Kalau tidak bisa dibina, apa boleh buat,” kata dia.
Cara selanjutnya adalah melawan kelompok radikal sebelum mereka merekrut anggota baru. Tito menyebut harus ada komunitas yang kuat untuk melawan kelompok tersebut. Harus ada program yang jelas untuk melawan didahului dengan memetakan daerah-daerah yang berpotensi muncul kelompok radikal. Menurut Tito, jangan sampai seperti di Pontianak atau Kalimantan Tengah yang sudah dilakukan program melawan kelompok radikal padahal di sana tidak ada jaringan kelompok radikal. “Harus tahu persis jaringannya di mana untuk melakukan itu,” kata Tito.
Tito mencontohkan kelompok Ngruki pimpinan Abu Bakar Baasyir. Para alumni anak buah Baasyir mengikuti semacam kuliah kerja nyata. Pesantren, kata dia, dijadikan sasaran para alumni menyebarkan paham mereka. Alumni tersebut menjadi ustadz-uztadz di pesantren tersebut. “Kami harus melawan radikalisasi di sana, bukan di tempat lain,” kata Tito lagi.
Narasi yang bersifat radikal, ujar Tito, harus dinetralisasi dan dimoderatkan dengan bantuan ahli agama seperti ulama yang moderat. Memasukkan ideologi pancasila, menurut Tito juga sebagai cara baik. Media masa juga perlu diawasi agar paham radikal bisa dicegah. Terakhir, kata dia, para pihak yang berkepetingan harus terlibat. “Masalahnya adalah koordinasi. Kalau kami bisa mensinergikan stakeholder, radikalisasi akan kami hambat, stop,” ujar dia.
DANANG FIRMANTO