TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) menduga telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan perkara kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Jakarta International School.
Dugaan pelanggaran itu ditemukan setelah Kontras bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) mengkaji kembali putusan pengadilan ihwal perkara kekerasan seksual tersebut.
"Temuan ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum belum berhasil mewujudkan keadilan bagi anak maupun memenuhi hak para tersangka," ujar Putri Kanesia dari KONTRAS, di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Desember 2015.
Menurut Putri, kajian ini berdasarkan hasil analisis tim eksaminasi yang terdiri dari akademisi, dokter forensik, mantan jaksa, hingga perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat. Tim menemukan tiga dugaan penting yang perlu diketahui masyarakat.
Temuan pertama adalah adanya pelanggaran hukum formil terhadap tersangka, tidak adanya pemenuhan hukum materil, dan minimnya perlindungan terhadap kepentingan anak. Indikasi pelanggaran itu terlihat dari langkah polisi yang terburu-buru menetapkan petugas kebersihan sebagai tersangka dan disusul dua orang guru. Begitu juga penangkapan terhadap para tersangka yang dinilai menyalahi prosedur. "Tak ada surat penangkapan sama sekali," kata Putri.
Selain itu diduga para tersangka mendapat tekanan dan kekerasan fisik saat menjalani pemeriksaan. Indikasinya terlhat dari luka lebam di tubuh petugas kebersihan yang menjadi tersangka. "Para tersangka bertemu keluarga dengan tubuh memar."
Temuan kedua adalah hukum materil tak terpenuhi karena beberapa unsur dalam pasal yang dikenakan kepada para tersangka tidak bisa dibuktikan di pengadilan. Tim eksaminasi juga meragukan kekuatan bukti visum dan keterangan ahli di persidangan. "Laporan kuasa hukum keluarga tersangka tak pernah dipertimbangkan," ujar Putri. Hal ini, bagi para eksaminator menunjukkan tidak adanya kenetralan dalam pertimbangan ahli maupun saksi.
Dengan fakta-fakta itu, tim eksaminasi berpendapat, tersangka seolah dipaksa mengakui penyimpangan yang belum tentu benar mereka lakukan. "Mereka tertekan oleh putusan pengadilan yang bergerak berdasarkan 'emosi publik', bukan fakta," kata Putri.
Sedangkan temuan ketiga menyangkut perlindungan terhadap anak. Sebab proses hukum yang berjalan dinilai belum bisa memberikan rasa aman kepada korban.
Fransiskus Manurung dari MAPPI menjelaskan, pengujian perkara kekerasan seksual ini dilakukan untuk mendalami lebih jauh proses peradilan dan pertimbangan hakim yang dinilai mengandung pemaksaan dan rekayasa. Selain itu, pengujian ini bisa dijadikan sebagai kontrol publik terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Kasus kekerasan seksual di JIS ini dilaporkan pada April 2014 oleh salah satu orang tua siswa taman kanak-kanak. Polisi kemudian menetapkan enam petugas kebersihan menjadi tersangka. Satu diantaranya tewas dengan dugaan bunuh diri. Belakangan polisi juga menetapkan dua guru JIS sebagai tersangka.
Dalam persidangan, petugas kebersihan divonis bersalah. Mereka divonis antara 7 sampai 8 tahun. Sedangkan guru JIS divonis 10 tahun namun ditingkat banding hakim menjatuhkan vonis bebas.
YOHANES PASKALIS