TEMPO.CO, Depok - Tangan keriput Tiyem terus mengayunkan kipas bambu ke bayi berusia tujuh bulan, secara bergantian. Nenek berusia 72 tahun itu harus berdesak-desakan dengan tiga cucu, anak, menantunya, dan ratusan mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara di penampungan sementara mereka di Gedung Serba Guna Pandan Sari, Taman Wiladatika Cibubur, sejak Rabu, 28 Januari 2016.
Elia, bayi yang dahinya bercucuran keringat itu, tidak bisa diam. Sesekali bayi tersebut merengek. Tiyem dengan sigap melanjutkan sapuan kipasnya, ke arah cucunya. Sejak malam, bayi yang dimomong neneknya tersebut tidak bisa tidur karena sumpek bertumpuk bersama ratusan eks Gafatar lainnya.
Selain itu, minimnya serat dan sayur yang diberikan kepada eks Gafatar di penampungan membuat susu yang dikeluarkan Lastri, 35 tahun, ibu Elia, kering. Sehingga, bayinya sering rewel. Lastri dan ibunya Tiyem adalah salah seorang eks Gafatar asal Depok, Jawa Barat, yang mengungsi pascapembakaran rumah mereka di Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa, 19 Januari 2016.
Kendati terlihat lelah lantaran perjalanan jauh selama sepekan dari Mempawah, Kalimantan Barat sampai ke Taman Wiladatika Cibubur, Tiyem tidak mau melihat cucunya mengalami hal yang sama. Bagi Tiyem, cucunya menjadi obat mujarab, penghilang penderitaan karena dicap menyimpang oleh sebagian orang karena menjadi pengikut eks Gafatar.
"Ini yang kami alami. Bahkan sampai orang tua dan anak saya yang masih bayi ikut diungsikan. Memang kami salah apa," kata Lastri di samping ibunya, di tempat penampungan sementara, Jumat, 29 Januari 2016.
Menurut dia, eks Gafatar seperti orang terbuang dari negerinya sendiri. Beruntung dia bersama keluarganya berhasil selamat dari amuk warga dan pembakaran rumah Betang, yang dia tempati sementara di Mempawah.
LIHAT VIDEO; Gafatar Bukan Soal Islam, Memilih Kalimantan untuk Bertani
Tiga hari sebelum peristiwa mencekam itu, lebih dari 500 orang mendatangi rumah kontrakan yang dia sewa bersama tiga kepala keluarga eks Gafatar di Desa Koala, Kelurahan Pasir Wan Salim, Kecamatan Mempawah Timur, Kalimantan Barat. Semua eks Gafatar yang ada di sana diminta angkat kaki.
Setelah diberi tenggat waktu untuk pindah, dia memutar otak untuk mencari tempat lain. Sehari setelah diusir, dia ke rumah sahabatnya untuk bermalam sehari bersama tiga anak, suami, dan ibunya. Di hari ketiga, mereka pergi lagi ke rumah Betang, milik orang Jawa Timur. "Saya tidak tahu milik siapa, tapi saya diungsikan ke rumah itu," ucapnya.
Lastri mengaku sudah tidak punya duit lagi untuk pergi ke mana pun. Sebab, untuk pergi dia membutuhkan ongkos, sedangkan duit sudah habis. "Akhirnya saya ditampung di rumah Betang. Sekitar 700 orang ada di rumah itu," ujarnya.
Saat Lastri datang, massa sudah banyak yang datang mengepung rumah Betang yang dia tinggali. Bahkan, kata dia, massa sudah berjaga sejak malam. Kekhawatiran diserbu massa yang kalap membikin para eks Gafatar panik. Sebab, massa membawa kayu dan menggebuk-gebuk rumah yang mereka tempati.
Sekitar pukul 12 malam, Lastri bersama ratusan orang lainnya dilarikan ke hutan untuk menyelamatkan diri dari kepungan warga. Becek dan semak belukar hutan dia tembus, sambil menggendong Elia. Suami Lastri, Prigiyanto, menuntun mertuanya, sambil diikuti dua anaknya, yang berusia 14 dan 11 tahun.
Tak berapa lama, para eks Gafatar diminta kembali lagi ke rumah Betang sekitar pukul 01.30 pagi. Untuk kembali ke rumah Betang dari hutan dibutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam berjalan kaki. Pada Selasa siang, warga kembali datang dengan membawa kayu dan bensin. Beruntung ada polisi yang sudah berjaga. "Tapi polisi bisa ditembus. Polisi kurang," ucapnya.
Massa yang merangsek masuk barikade polisi bertindak brutal. Mereka membakar rumah Betang yang ditinggali ratusan eks Gafatar. Para eks Gafatar ketakutan karena tindak anarkistis warga. "Kami yakin itu bukan warga asli karena sebagian warga sudah menerima keberadaan kami," katanya.
Saat peristiwa pembakaran tersebut hujan turun. Para eks Gafatar menyelamatkan diri dengan dibantu polisi dan anggota TNI. Mereka tidak sempat menyelamatkan harta benda. Keluarga Lastri sendiri hanya membawa sepotong pakaian yang mereka pakai.
Lastri, anak kedua dari tiga bersaudara itu, melihat anak-anaknya menggigil karena baju yang mereka kenakan basah kuyup. Elia, yang masih bayi, sempat demam karena dia harus menahan dingin dan ikut berdesak-desakan dengan pengungsi lain. "Baju Elia dari basah sampai kering di badan," ucapnya. "Yang kasihan karena kebanyakan pengungsi adalah anak-anak."
Para eks Gafatar menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke Pulau Jawa. Sebelumnya, para eks Gafatar ditempatkan di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Setelah itu, mereka diberangkatkan pada Sabtu, dua pekan lalu, ke Pontianak. "Dari Kayong ke Pontianak sekitar 16-17 jam perjalanan menggunakan perahu klotok," ucapnya.
Setelah tiba di Pontianak, para eks Gafatar diberi istirahat sehari. Mereka sampai ke Pontianak pada Minggu pekan lalu, dan Senin diberangkatkan ke Jawa, menggunakan kapal milik TNI. "Terasa capeknya," ucapnya.
Prigiyanto menuturkan, bila diminta memilih, dia dan keluarganya tidak mau pindah dari Kalimantan. Sebab, lahan pertanian yang dia garap akan membuahkan hasil. Dia bersama keluarganya baru tinggal selama tiga bulan di Mempawah. "Keahlian saya dan keluarga saya memang bertani," katanya.
Di Depok, Prigiyanto menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan sebagai pedagang. Ia melihat potensi pertanian di Kalimantan cukup baik untuk dikembangkan. Untuk itu, dia setuju dengan program eks Gafatar, yang mau membuat pilot project pertanian di Kalimantan. "Saya sudah berhasil menyulap lahan gambut menjadi persawahan. Bahkan sudah empat hektare yang saya olah," ujarnya.
Gafatar meramalkan dunia akan mengalami krisis pangan. Tanda-tandanya, dia berujar, lumbung padi di Pulau Jawa sudah berkurang drastis. Sedangkan kebutuhan pangan meningkat, dan ketersediaan semakin berkurang. Kalimantan menjadi pulau yang berpotensi untuk mengembangkan lahan pertanian.
Eks Gafatar, kata Prigiyanto, hanya diminta menjadi petani. Menurut dia, lahan pertanian yang sudah digarap eks Gafatar bisa dibilang berhasil. Ia mempertanyakan pemindahan paksa pemerintah kepada semua eks Gafatar. "Pemerintah tidak memberikan kami makan. Ketika kami berhasil menyediakan bahan makan untuk kami sendiri, dihentikan," ujarnya.
Prigiyanto mengaku masih belum tahu bakal tinggal di mana. Untuk kembali ke rumah, yang dulu pernah dia tempati di Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, tidak mungkin. Sebab, di rumah itu dia hanya menumpang kediaman milik orang lain. "Ke kampung di Brebes tidak mungkin juga. Ya, nanti cari pinjaman ke sahabat, untuk mengontrak rumah," ucap pria yang sudah menjadi simpatisan Gafatar sejak 2013.
Prigiyanto adalah salah satu dari 712 eks Gafatar asal Mempawah, Kalimantan Barat, yang tiba di Taman Wiladatika Cibubur. Kepala Sub Bidang Pemulihan dan Penguatan Sosial Direktorat Perlindungan Sosial Bencana Alam Tetrie Darwi mengatakan ada sekitar 20 persen anak-anak dari total 712 eks Gafatar yang mengungsi di Taman Wiladatika Cibubur.
Saat ini Kementerian Sosial sedang melakukan kegiatan psiko-sosial untuk mendata dan mengetahui apa yang mereka butuhkan dan inginkan. "Termasuk harapan mereka setelah dipulangkan," ucapnya.
IMAM HAMDI