TEMPO.CO, Jakarta - Sejak September 2015, kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Jakarta seolah mati suri. Kantor partai itu di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, selalu sepi. “Kalau rapat, pimpinan tak pernah lengkap,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Jakarta Pusat, Wa Ode Herlina, di Jakarta, Kamis, 11 Februari 2016.
Belakangan, Ketua Boy Bernadi Sadikin malah memilih rapat di rumah bapaknya, mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Sekretaris partai, Prasetyo Edi Marsudi, selalu absen dalam pertemuan tersebut. Menurut Herlina, kedua pejabat kunci PDIP Jakarta itu sejak lama tak akrab akibat perbedaan pendapat.
Perselisihan itu dibenarkan Boy. Menurut dia, banyak kebijakan partai berlambang kepala banteng moncong merah itu tak dijalankan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Boy menganggap Prasetyo tak mematuhi amanah partai. “Buktinya reklamasi jalan terus, padahal partai sudah bilang tidak,” kata dia.
Walhasil, anggota partai cabang Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu, yang sebagian besar adalah nelayan, memprotes Boy. Mereka menduduki kantor-kantor cabang dan meminta Dewan menyetop proyek reklamasi. “Fraksi lupa kalau partai ini partai sandal jepit, wong cilik,” kata Boy.
Selain itu, Boy mengatakan komunikasi antara dia dan anggota PDI Perjuangan lainnya kerap terputus. Bahkan, Boy mengklaim sakit hati ketika salah seorang anggota melangkahinya. “Tiba-tiba ada yang menghadap DPP tanpa sepengetahuan saya,” ujar dia, tanpa merinci persoalan sebenarnya.
Karena itu, Boy memilih mundur sebagai Ketua PDI Perjuangan Jakarta. Surat pengunduran dirinya sudah dilayangkan ke pimpinan pusat pada 28 Desember 2015. Namun pimpinan pusat masih menahan Boy agar tidak mundur. “Belum ada keputusan,” kata Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto.
Boy menampik anggapan mundur karena Gubernur Basuki alias Ahok akan merapat ke partainya dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada Februari 2017. “Silakan saja kalau itu keputusan partai,” tuturnya. Dalam Pilkada DKI 2012, PDI Perjuangan sempat mengusulkan Boy sebagai calon gubernur.
Boy kemudian menjadi tim sukses pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang memang diajukan partainya. Saat Jokowi terpilih menjadi Presiden pada 2014, otomatis Basuki naik jabatan menjadi gubernur. PDI Perjuangan menimbang dua orang sebagai calon pendamping Ahok, yakni Boy dan Djarot.
Partai memilih Djarot, mantan Wali Kota Blitar. Menjelang Pilkada 2017, nama Boy kembali diusulkan. “Tolong perhatikan suara daerah, jangan sampai depolitisasi karena calon lain,” kata Herlina. Meski banyak suara menginginkannya maju, Boy tak berminat menjadi calon gubernur. “Kalau hanya soal pemilihan, kenapa saya harus mundur?”
Adapun Prasetyo Edi dan Ketua Fraksi Jhonny Simanjuntak belum menjawab panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirimkan oleh Tempo. Pengamat politik Cyrus Network, Hasan Nasbi, mengatakan pengunduran diri Boy tak akan memecah-belah partai. “Kuncinya di ketua umum,” katanya.
PUTRI ADITYOWATI