TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Abdul Aziz. Karena asalnya dari Bugis, Makassar, orang Kalijodo memanggilnya Daeng Aziz. Dialah orang yang disebut-sebut polisi dan pejabat Jakarta sebagai preman penguasa Kalijodo, kawasan prostitusi kelas bawah di perbatasan Jakarta Barat dan Utara.
Jejak-jejak kekuasannya terlihat dari apa yang ia pakai ketika bertandang ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Senin lalu. Memakai batik merah, pria 48 tahun ini turun dari Mercedez Benz C280 warna perak. Kalung emas gemerincing di leher dan tangannya.
Komisioner Hafid Abbas menerima di ruangannya. Kepada Hafid, Aziz mengeluhkan rencana pemerintah Jakarta menggusur kawasan prostitusi Kalijodo. “Pemerintah harus memikirkan bagaimana kehidupan masyarakat jika Kalijodo digusur,” kata Aziz seperti ditulis Koran Tempo edisi 17 Februari 2016.
BACA: Pengakuan Pelacur Kalijodo: Tentang Bisnis, Tarif, dan Kisah Hidupnya
Sudah sepekan pemerintah mengumbar rencana menggusur kelurahan seluas dua hektare yang berada di bantara Kanal Banjir Barat. Pemerintah akan merobohkan wisma-wisma pelacuran di sana untuk dijadikan lahan hijau.
Sebenarnya rencana itu sudah mencuat sejak tahun lalu. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mendapat peluru menggusur Kalijodo setelah seorang pengemudi mabuk menabrak empat orang hingga tewas di Daan Mogot Senin pagi pekan lalu. Kepada polisi, pengemudi ini mengaku mabuk dan minum di Kalijodo.
Aziz, yang mengaku sebagai tokoh masyarakat Kalijodo, mengatakan penggusuran itu melanggar hak asasi manusia. Alasannya, tak ada sosialisasi dari pemerintah kepada penduduk.
BACA: Sejarah Kalijodo, Dari Tempat Nongkrong ke Pelacuran
Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi menyanggah tak ada sosialisasi. "Kami memiliki dokumentasinya," ujarnya. Pemerintah mendirikan posko pendataan dan menyebarkan stiker opsi-opsi penggusuran ke rumah-rumah penduduk. Penduduk pemegang KTP Jakarta akan disediakan rumah susun Daan Mogot setelah digusur, sementara pelacur akan dipulangkan.
Selanjutnya: Aziz merupakan preman yang ditakuti...